Pages

Rabu, 18 Januari 2012

Penyesalan Albert Einstein (1950)

ILMU : PERANTI ETIKA DAN ABDI KEMANUSIAAN.

Seperti Etika, Ilmu tak bebas dari pengaruh tata nilai. Kata Kenneth Bouding, ahli ekonomi pad Lembaga Ilmu Perilaku, Universitas Colorado : “Sebagian yang lumayan besarnya dari keberhasilan masyarakat keilmuan dalam memajukan pengetahuan adalah berkat tata nilainya, yang menempatkan pengabdian yang obyektif terhadap kebenaran di jenjang yang paling luhur, dan kepadanya baik harga diri perseorangn maupun kebanggaan nasional harus ditelutkan”.

Namun, kebenaran bukanlah satu-satunya nilai yang dijunjung tinggi itu, dan beberapa di antara ramalan-ramalannya yang penting dan terandalkan, seharusnya dipandang sebagai informasi tambahan untuk menafsirkan norma-norma etika secara lebih betul dan lebih relevan.

Tetapi sekedar berperan sebagi informan merupakan citra ilmuwan yang kian usang. Kecenderungan yang nampak ialah, bahwa rupanya makin banyak ilmuwan yang menganggap bahwa mereka sungguh-sungguh tunamoral, tak beretika dan tak bertanggungjawab terhadap masyarakat, jika membiarkan dirinya terjerat oleh rayuan dana penelitian dan pengembangan yang sangat besar, yang disediakan oleh angkatan bersenjata dan perusahaan multinasional raksasa, asal ia mau pura-pura buta terhadap peluncasgunaan dan penyalahgunaan hasil-hasil keilmuannya.


Tak lain dari Einstein sendiri – sarjana yang pertama-tama menunjukan kemungkinan untuk memperoleh tenaga yang sangat besar dengan menyadapnya dari usak-massa yang sangat kecil – yang dengan pedasnya mengecam penerapan dan penyalahgunaan senjata nuklir. Ia melancarkan kecamannya dalam tahun 1950 : ”Kita telah muncul (sebagai pemenang pen.) dari suatu peperangan yang telah memaksa kita menerima standar etika musuh yang begitu merendahkan martabat manusia. Tetapi sebaliknya daripada merasa terbebaskan dari standar musuh itu sehingga leluasa memulihkan kekudusan jiwa manusia dan keamanan rakyat yang tak bertempur, pada hakekatnya kita justru mengambil alih standar yang rendah itu menjadi standar kita sendiri” (Christianson, 1971). Ikut merasakan kemuakan seperti Einstein, Robert Oppenheimer menentang pengembangan bom-H, --- suatu sikap etis yang berani, yang menyebabkannya diinterogasi bagaikan terdakwa oleh Koloni Tenaga Atom, sehingga kemudian dicap sebagai “Risiko Keamanan” dan dikucilkan dari segala kegiatan penelitian nuklir.

Sejak waktu itu banyak ilmuwan yang nekad menghadapi risiko, dengan blak-blakan melancarkan kecamannya terhadap sementara rekannya yang berperan bagaikan Faust dalam karya sastra Goethe dan opera Wagner, --- “melacurkan” hati nurani kemasyarakatan kepada iblis Mephistopheles modern dengan cara memasang sikap netral dan tak pedulian, tak mau mengakui bahwa mereka mengemban tugas-tugas dan tangggung jawab terhadap masyarakat.

Diantara para pengecam ini kita kenal, misalnya Jacques Monod (dan 2100 ilmuwan lain yang menandatangani Deklarasi Menton), Robert March (yang meskipun kalah tetapi sempat dan masih terus berjuang melawan Himpunan Fisika Amerika (American Physical Society) yang berkuasa dan sok legalistis) dan beberapa belas ilmuwan di Kampus Berkerley (yang menyelenggarakan rangkaian kuliah tentang tanggung jawab kemasyarakatan para ilmuwan; Brown, 1971). Di samping itu masih ada lagi, misalnya : para pengikut “Summer Science Institute” pertama tentang hubungan timbal balik antara ilmu dan masyarakat (yang diselenggarakan di Knox College dan menghasilkan seperangkat resolusi tajam), Jonas Salk yang melontarkan gagasannya tentang ‘sikap humanologis’ dan berpuluh-puluh ilmuwan dari 50 negara yang bersama membentuk wadah kegiatannya, yakni “Perkumpulan demi Tanggung jawab Keilmuan” (Association for Sceintific Responsibility).

Hanya dengan bersikap penuh tanggung jawab etis terhadap masyarakat (baik masyarakat dewasa ini maupun angkatan-angkatan yang akan datang) ilmu dapat menghindarkan dirinya dari kehilangan hak istimewanya untuk mengabdi kepada kemanusiaan. Kalau tidak demikian, maka membayanglah risiko bahwa ilmu akan terkutuk menjadi perkakas yang berbahaya, yang bergiat demi penghambaannya kepada jenderal-jenderal yang gila perang dan gembong-gembong kekaisaran industri yang rakus.

Sumber : Jujun S. Suriasumantri, (1978), “Ilmu dalam Perspektif, Gramedia”, Jakarta, hal 241-242

Tidak ada komentar:

Posting Komentar