PERGOLAKAN PEMIKIRAN
Catatan Harian Muslim Jerman
Murad Wilfred Hoffman
(New York, 17 Mei 1951)
Sudah lewat setahun aku mempelajari ilmu sosial di Universitas Union College, yang terletak dekat sungai Mohock, di dataran tinggi negara bagian New York. Metode pengajaran mata kuliah yang digunakan adalah empiris an-sich. Oleh karena itu, kajian tentang tugas sosiologis manusia dan perilakunya tidak beranjak dari gambaran-gambaran yang mengkristal secara filosofis dan teologis dari tabiat esensial manusia dan tujuannya, sehingga pertimbangan-pertimbangan nilai tidak diperkenankan karena dianggap "tidak ilmiah". Itu dilakukan demi kepentingan segi-segi kuantitas. Interaksi sosial antara lelaki dan wanita diletakkan dalam statistik angka-angka. Oleh karena itu, penelitian hanya berfokus pada tugas dan peran yang dimainkan keduanya dalam kehidupan berdasarkan tingkat prestasi keduanya dalam mewujudkan kesempurnaan dan kepentingan sosial. Sejalan dengan teori yang populer dari Sigmund Freud dalam ilmu jiwa mengenai individu, dan anggitan materi dan mekanis yang berkembang tentang kehidupan dan intelektualitas.
Tampaknya, metodologi perilaku ini serupa dengan metode yang diaplikasikan oleh Karl Von Prietz dalam menentukan tingkat kecerdasan tawon dan sifat-sifat bawaannya.
Semenjak beberapa tahun, sebelum Vans Packard menulis "Jenjang Bersusun Piramid", "Open Nationality", dan "Agitator Terselubung", dan sebelum Concard Lawrence menulis "Tentang Permusuhan", aku telah berusaha menemukan hukum-hukum yang mempengaruhi aktivitas seluruh manusia dan masyarakat. Meskipun aku belum meneliti bias nilai yang ditimbulkan oleh riset sosiologis: setiap kali manusia melihat hasil statistik mengenai sesuatu yang dianggap biasa, maka ia akan melakukan conditioning dirinya dengan ukuran nilai itu. Sehingga sosiologi berubah menjadi prediksi pencipta kepribadian. Rupanya, rekan-rekanku sesama mahasiswa dalam kelompok persaudaraan (di C-Obselon) menjadi korban kecenderungan conditioning diri secara total dengan ukuran nilai ini.
Yang jelas, metodologi seperti ini dipergunakan untuk melihat hakikat kemanusiaan, tampak tidak seirama dengan antropologi yang berasaskan filsafat. Juga sosiologi agnostisisme yang memberi perhatian pada ilmu etika, akan membawa manusia jauh dari pedoman-pedoman tradisional dalam melihat etika-etika yang berkembang, yang mendukung sebuah bangunan sosial.
Yang paling representatif mendeskripsikan keruntuhan metodologis dalam memandang batasan-batasan etika adalah trend olahraga seks yang memalukan yang berkembang di lingkungan pendidikan. Jika social-conditioning co-existensi dianggap sebagai tujuan terbesar yang diharapkan dari semua kegiatan sosial dan ekonomi manusia, maka segala apa yang diharapkan dari semua kegiatan sosial dan ekonomi manusia, ada dalam realitas sosial tersebut adalah nisbi belaka. Sehingga manusia mengerjakan apa yang orang-orang lain duga akan ia kerjakan. Atau, seperti yang dikatakan oleh George Schimmel, "Manusia tanpa kepribadian adalah manusia yang menjadi budak nurani sosialnya secara total."
Model sosiologi ini dianggap bukan ideologi, bahkan bertentangan dengan ideologi. Pada kenyataannya, ia hampir menjadi agama palsu yang memakai topeng dan menyelusup di bawah slogan salah satu ilmu-ilmu biologi yang diragukan kebenarannya.
Seorang yang menolak untuk membuang pertanyaan-pertanyaan esensial mengenai manusia, seperti: dari mana, akan ke mana, mengapa? Atau ia meremehkannya, bukankah itu sikap ideologis? Itulah pertanyaan-pertanyaan yang membuat tokoh filosof dan ahli teologi sepanjang masa tidak mampu berbuat lain, kecuali mencampakkannya.
Ilmu pendidikan yang berada di bawah pengaruh sosiologi, dan berusaha mewujudkan kesesuaian hingga pada batas persamaan terkecil, bukankah itu hasil dari teori world view?
Benar, jenis sosiologi ini akan melewati konklusinya yang terdahulu. Ia tidak hanya menganggap sebagai sebuah fenomena yang harus diterima. Jika hal itu telah menjadi world view bagi masyarakat Amerika. Ia juga menjadi world view masyarakat Eropa.
Selanjutnya, bagaimana kita dapat mengingkari agama imitasi, seperti Marxisme "Ilmiah", jika kita juga menganggap ateisme sebagai salah satu corak hidup, sambil menolak sistem nilai Barat karena bias kuat agnostisisme. Karena itu, ia berkompetensi meluruskan nilai.
Kecelakaan Dahsyat
(Holly Springs, Mississippi, 28 Juni 1951)
Setelah dua minggu penuh, saat sedang melintasi jalan bypass (bebas hambatan), sambil membawa perbekalan lebih dari cukup bagi seorang pekerja logistik --setidaknya sebagai pembantu bagian logistik--dari New York Timur melalui jalan New Jersey dan California Selatan menuju Florida dan kembali lagi ke Georgia. Saat ini, aku telah berkhayal sampai di Memphis-Tennessee dan melintas di bawah jembatan Mississippi. Tiba-tiba aku dikejutkan sebuah bayangan di depan mobil ketika sopir menginjak pedal rem, namun kedua sisi rem tersebut tidak berfungsi sama sekali.
Pada pagi hari esoknya, koran lokal menampilkan judul berita utamanya "Kecelakaan Tabrakan Mobil". Koran itu memberitakan bahwa beberapa mobil saling bertabrakan dari arah yang berlawanan, di jalan raya. Ketika dokter mendiagnosa aku di rumah sakit, mereka mendapatkan rahangku bagian atas patah, bibir bagian bawah pecah, sembilan belas buah gigiku pecah, lengan kananku bergeser dari tempatnya, dan lutut kananku berlubang besar. Namun, aku tidak mengalami gegar otak, juga tidak goncangan jiwa.
Dua mobil --keduanya jenis Chevrolet--bertubrukan dengan kedua bagian depannya dalam kecepatan kira-kira 95 mil per jam. Kesempatanku untuk selamat dari kecelakaan tersebut adalah sebanding dengan jika aku melompat dari lantai lima sebuah gedung.
Ketika para ahli bedah berusaha mengoperasi wajahku yang luka-luka dan mengembalikannya ke bentuk aslinya, mereka saling bertanya dengan nada tinggi tentang gambar wajahku sebelum kecelakaan. Dengan gerakan kepala, aku memberi isyarat kepada mereka bahwa ada paspor di kantong celana jeansku yang berlumuran darah, untuk melihat fotoku. Dokter tampak membandingkan antara foto di pasporku dan wajahku yang luka-luka. Kemudian mereka berkata bahwa operasi kecantikan baru bisa dilakukan setelah beberapa tahun.
Sambil menyuntikkan satu dosis morfin pada malam pertamaku di rumah sakit, dokter berbisik kepadaku, "Tuan, jarang orang selamat dari kecelakaan seperti ini, mungkin Allah menghendaki sesuatu bagimu di kemudian hari nanti." Setelah 29 tahun, yaitu pada tanggal 25 Desember 1970, aku baru dapat mengungkap makna kejadian tersebut.
Imajinasi Tidak Utuh
(Granada, Cordoba, 7 Juli 1958)
Para ahli Jerman di bidang kesenian dan bangunan Islam, seperti Ernest Coneil, Caterina Ottodorn, dan Alfred Reinz, menemukan kesulitan luar biasa untuk mendefinisikan spesialisasi mereka. Menurut Olwieg Graper --mewakili pendapat yang paling tepat--metode seniman muslim karena pengalaman pribadi mereka dan pergesekan dengan peradaban-peradaban Suria, Byzantine, Parsi, dan suku-suku Turki, tampak mempunyai keunikan tersendiri. Hal itu di dalamnya hanya tampak satu unsur sebagai tanda yang memberi ciri khas metode kesenian Islam, yaitu penggunaan kaligrafi Arab ornamental.
Sampai-sampai anak kecil sekalipun bisa menilai dengan tepat keunikan kesenian Islam, karena ia mempunyai ciri tersendiri.
Tentunya, tidak ada gerakan seni yang telah ada semenjak zaman dulu. Demikian juga seni Islam yang tidak mulai dari nol, namun ia menyerap seni-seni lain dalam masa perkembangannya. Selama itu, Islam dapat menerjemahkan segi-segi tertentu teologis menjadi kaidah-kaidah seni.
Oleh karena itu, tidak heran jika bangunan-bangunan Islam dalam ornamen interior dan eksteriornya --meskipun mempunyai perbedaan yang besar--memberikan image tentang tempat dengan karakteristik Islam tertentu, mencakup eksterior maupun detailnya.
Hal ini bisa disaksikan sebagai contoh pada struktur dan ruangan Istana Merah di Granada, atau pada masjid-masjid tertentu. Seperti yang terdapat di Cordoba, Qairawan, Kairo, dan Istambul, terutama Masjid Sulaimaniyyah, Masjid Sultan Ahmad Rustam Basya, dan Sukulu Muhammad Basya. Juga taman al-Hambra, dan daerah Haram di Mekah.
Keunikan kesenian Islam ini berpulang pada beberapa unsur, yaitu sebagai berikut.
- Ilustrasi-ilustrasi tertentu tentang kesederhanaan pada bagian luar istana Islam --yang tampak mengisyaratkan akan perempuan muslimah yang cantik yang menutup hijab wajahnya ketika meninggalkan rumah.
- Karakter demokrasi Islam yang tidak berkasta yang tecerminkan pada tempat ibadah Islam.
- Abstraksi yang tinggi, sesuai dengan pandangan umat Islam bahwa Allah SWT tidak bisa dilukiskan.
- Dimensi-dimensi manusiawi dalam membentuk kerangka bangunan yang mencerminkan kecenderungan Islam pada ekuilibrium, keseimbangan, dan metode moderat dalam memecahkan masalah-masalah.
- Mengosongkan tempat shalat dari suasana magis --yang mengisyaratkan tidak adanya ritus-ritus dan rahasia-rahasia yang disucikan.
- Membangun kebun-kebun dengan inspirasi sifat-sifat surga dalam Al-Qur'an.
Betapa besarnya perasaan keagungan dengan segala pengertiannya yang menguasai seseorang ketika berada di tempat-tempat tersebut. Orang yang tidak mampu shalat di masjid seperti ini, tidak akan pernah belajar sembahyang di Katedral.
Juga tidak adanya gambar dan patung alami yang melukiskan manusia atau Allah (dan perbuatan itu amat terkutuk) dalam lingkungan Islam, lebih didorong oleh kekhawatiran terjerumus terhadap penyembahan patung dan kecenderungan paganisme, dibandingkan larangan Al-Qur'an. Begitu juga abstraksi yang tercermin dalam bentuk saling berhubungan tanpa akhir pada ornamen Arab (arabesk) melepaskan ikatan rasio untuk menfokuskan diri pada Allah Yang disucikan, Yang tidak bisa disifati, didefinisikan dan diukur.
Oleh karena itu, gambar-gambar bukanlah perangkat terpuji untuk menyuburkan inspirasi metafisis, namun sebaliknya, ia adalah cerminan imajinasi yang tidak utuh.
Toleransi Sampai Mengingkari Eksistensi Diri (2)
(Cambridge, Massachussetts, 4 Juni 1960)
Ketika aku sedang menyelesaikan ujian semester akhir di Fakultas Hukum, Universitas Harvard, aku memutuskan diri untuk beristri. Singkat cerita, acara perkawinan tersebut kemudian dilaksanakan di altar Harvard oleh seorang pendeta yang mengimani keesaan Tuhan dan menolak Trinitas. Sebelum acara dilaksanakan, ia bertanya kepadaku, "Apakah aku telah terbebas dari kecenderungan penyimpangan seksual yang terpendam dalam diriku."
Di koridor yang memanjang di depan tempat penyembelihan, di sana terukir nama-nama seperti ini: Budha, Kong Hu Chu, Kristen, Musa, dan Muhammad. Aku pikir, ini dapat memenuhi keinginan semua manusia. Menyenangkan sekali, karena ia memberikan toleransi hingga melupakan eksistensi diri. Namun, masalahnya sama sekali bukan seperti itu, karena ada permainan dalam kronologi sejarah, sehingga menempatkan nama Almasih di tengah nama-nama itu. Yang menggelikan, nama Muhammad dengan jelas ditulis di akhir rentetan nama-nama itu, sehingga menjadi akhir nabi, dan tentunya penutup nabi-nabi.
Perhatianku terhadap simbol-simbol ini menguasai kesadaranku. Saat aku seharusnya mencurahkan semua konsentrasi untuk mengucapkan lafal akad perkawinan dengan bahasa Inggris ningrat yang sulit. Oleh karena itu, aku sedikit gagap ketika diminta untuk mengulang perkataan, "Dan aku berjanji kepadamu bahwa aku sungguh-sungguh akan setia."
Bahasa Allah yang Khusus?
(Gradigh, 9 April 1962)
Di lobi satu-satunya hotel di Oasis, kebetulan tempat dudukku berada di samping seorang pria dari daerah Mozabeth. Pria itu tampak menggigil kedinginan menahan hawa dingin yang keluar dari AC, meskipun ia menggunakan jas panjang yang terbuat dari wol tebal. Kami berdua kemudian terlibat dalam pembicaraan, sambil menghindari berbicara mengenai Perang Aljazair yang mengenaskan dan sedang menjadi pembicaraan dunia.
Namun, ketika aku mengatakan bahwa aku baru saja selesai membaca terjemahkan Al-Qur'an dalam bahasa Perancis (AW. Pitckhal/Ahmad Tijany. Al-Qur'an. Paris, 1954), ia cepat-cepat membungkam mulutnya dan mulai menampakkan keraguan.
Aku menyadari bahwa pria itu --akibat dari kecenderungannya memegang penafsiran Islam dengan kaku--seperti lazimnya tradisi penduduk Mozabeth, menyangka aku telah menciptakan sebuah bid'ah, seperti mereka yang meremehkan risalah Allah. Karena Nabi Muhammad saw menerima Al-Qur'an melalui Malaikat Jibril dengan bahasa Arab, bukan bahasa yang lain.
Sekarang --setelah menyaksikan reaksi keras atas sekadar usaha menerjemahkan Al-Qur'an--aku juga menemukan perkara lain. Sambil berjalan sepanjang jalan Gradigh yang sempit yang berhembus angin. Telingaku menangkap suara ayat-ayat Al-Qur'an dengan bahasa Arab dibacakan anak-anak yang mungkin tidak memahami maknanya, lebih-lebih karena mereka tidak berbicara dengan bahasa tersebut.
Usaha memelihara Al-Qur'an dengan bahasa Arab asli, bukanlah taklid primitif sama sekali. Sebaliknya, ia tampak logis jika seseorang mengimani bahwa Al-Qur'an adalah catatan wahyu Allah yang utuh, dalam bentuk asli, sebagaimana ia diturunkan. Dengan karakteristik ini, Al-Qur'an menempati kedudukan tersendiri di antara kitab-kitab langit yang lain, termasuk di dalamnya satu bagian dari teks-teks yang terkenal dengan Perjanjian Baru. Analogi antara keduanya seperti perbedaan antara karya sastra asli dan sastra plagiat.
Dengan latar belakang ini dan pengalaman yang mengecewakan dalam usaha menerjemahkan Injil dari bahasa Aramiyah melalui bahasa Yunani dan Latin, ke dalam bahasa Inggris, Perancis, dan Jerman. Apakah mengherankan jika umat Islam menampakkan kekhusyukan ketika membaca bagian terkecil, kecuali dengan tangan dan badan yang suci?
Seharusnya orang mengetahui bahwa para filosof muslim --dengan logika Aristoteles--telah mencapai bahwasanya Allah Azali Yang Mahasempurna, Tetap, dan Maha Mengetahui. Maka, risalah (firman)-Nya pun telah ada semenjak azali, hingga sebelum turun wahyu dan hadir dalam sejarah manusia.
Perbedaan pendapat tentang apakah Al-Qur'an makhluk atau bukan telah menyebabkan perpecahan di antara para ulama. Seperti terpecahnya umat Kristen dalam polemik seputar apakah alam adalah diciptakan atau ia telah ada semenjak azali.
Sebenarnya, orang tidak perlu meyakini secara elementer bahwa bahasa Allah adalah bahasa Arab.
Al-Qur'an diturunkan kepada Nabi Muhammad saw dengan bahasa Arab karena logika sederhana. Yaitu, karena beliau tidak mengetahui bahasa selain bahasa Arab. Karena beliau seorang Arab dan akan menyampaikan ajarannya kepada manusia dengan bahasa Arab.
Tidak ada alasan untuk menganggap terjemahan Al-Qur'an sebagai pelecehan selama terjemahan tersebut tidak dianggap sebagai ganti atau sama dengan yang asli.
Oleh karena itu, usaha-usaha penerjemahan yang dilakukan umat Islam biasanya dipublikasikan dengan judul: "Makna-makna Al-Qur'an". Dan teks bahasa Arab akan tetap ditulis di sisi makna terjemahannya.
Pertanyaan kemungkinan berhasilnya seseorang manusia, pada suatu masa setelah berusaha keras dan terus-menerus, menerjemahkan sesuai dengan Al-Qur'an yang asli, terkadang cukup menggelitik.
Namun, banyak yang akan menentang pemikiran seperti itu.
Alkohol Demi Jerman
(Aljazair, 3 Mei l962)
Beberapa orang teman-temanku dari Jerman, yang sedang mengekplorasi minyak di Padang Sahara Aljazair, hampir kehilangan semangatnya. Sebagian mereka mengancam dan meninggalkan kompleks tempat tinggalnya. Hal itu tidak aneh, karena perang kemerdekaan Aljazair makin merembet ke kawasan mereka, dan berkembang desus-desus akan terjadi pembunuhan niassal setelah pasukan penjaga keamanan Prancis ditarik mundur.
Karena sebab itu, Sigfried Von Notsch, konsuler umum Jerman di Aljazair (di ibu kota) memerintahkan kepadaku untuk berusaha memompa kembali semangat para pekerja tersebut untuk kepentingan Jerman. Oleh karena itu, alkohol itu pun demi Jerman pula.
Aku terbang melintasi badai yang menakutkan di atas Pegunungan Atlas, didampingi direktur perusahaan minyak Jerman, dalam pesawat jenis DC-3, peninggalan Perang Dunia II.
Dua kotak whisky diletakkan di lantai dekat tempat dudukku, namun keduanya tidak diikat dengan tali pengaman. Aku terus mencoba dengan sia-sia menahannya agar tetap di tempatnya setiap kali pesawat menukik tajam di salah satu daerah berudara tipis, sehingga kedua kotak tersebut melonjak ke udara hingga setinggi tangan kursi, juga setiap kali ia bergerak dan jatuh di lantai ketika pesawat telah menemukan keseimbangannya.
Aku tahu betul, tanpa whisky, usahaku akan gagal. Jika tidak ada alkohol, tidak mungkin membangkitkan semangat mereka.
Ruang pesawat telah dipenuhi bau alkohol, sehingga memuakkan sekali. Namun, dengan menelan obat, aku terhindar dari mabuk udara.
Di kompleks para pekerja, kami disambut dengan sedikit hati-hati dan perasaan takut, meskipun masih ada beberapa botol whisky yang selamat dan dibagi-bagikan kepada mereka, seperti dalam film koboi. Aku tekankan kepada teman-teman senegaraku bahwa kondisi di ibu kota Aljazair telah genting, sering terjadi perang gerilya di dalam kota setiap hari. Dan aku berjanji kepada mereka untuk mengungsikan mereka pada waktu yang tepat, jika diperlukan.
Ketika aku sedang mengatakan hal itu meskipun aku tidak begitu yakin aku terus memikirkan nasib mengenaskan tentara-tentara Aljazair yang tergabung dalam Angkatan Bersenjata Prancis, yang menjaga kompleks ini. Mereka terlihat berdiri tenang menjalankan komando mereka dan tenggelam dalam renungan mereka. Keyakinan mereka tumbuh dari iman mereka, dan semata dari iman Islam mereka.
Sedangkan para pekerja Jerman, mereka butuh alkohol untuk mengangkat semangat mereka. Oleh karena itu, alkohol ini demi Jerman.
Aku Temukan Jawabannya
(Aljazair, 28 Mei 1962)
Ketika aku bekerja pada Konsulat Jenderal Jerman di ibu kota Aljazair. Aku menyaksikan kriminalitas yang mengerikan dan menakutkan selama sembilan bulan. Hampir tidak ada malam berlalu tanpa diwarnai ledakkan bom-bom plastik, yang bisa mencapai seratus ledakan atau lebih, dalam satu malam.
Di ibu kota Aljazair sendiri, dalam beberapa bulan, telah meninggal sekitar seribu orang karena ditembak, dan mayoritas dari jarak dekat. Gerakan Pembebasan Nasional berperang melawan Prancis untuk mewujudkan kemerdekaan Aljazair.
Penduduk Prancis dan Spanyol, di tanah jajahan Aljazair yang dinamakan "telapak-telapak kaki hitam", mereka juga membantu Paris, dan berusaha untuk terus tinggal di negeri ini di bawah pemerintahan Prancis dengan harga berapa pun.
Tentara rahasia mereka yang terkenal dengan "dinas tentara rahasia" yang bertanggung jawab mengirimkan truk-truk bensin yang menyala ke perkampungan-perkampungan di Aljazair dan memburu mereka seperti kelinci. Dari apartemenku, di daerah al-Biar, aku dapat menyaksikan puing-puing sebuah kampung di daerah pegunungan setelah diserang oleh tentara Prancis dengan menggunakan bom napalm. Ketika aku pergi menuju Rumah Sakit Mushthafa untuk mencari korban orang Jerman. Aku melihat korban-korban baru yang berdatangan sekitar satu orang setiap dua puluh menit. Luka mereka sama, ditembak di kepala atau kadang-kadang dari belakang.
Sekarang, setelah dilakukan gencatan senjata dan perjanjian tersebut dihormati oleh Prancis dan Gerakan Pembebasan Nasional Aljazair, setelah mereka mengukir sejarah kemerdekaan Aljazair. Dinas tentara rahasia yang di alamnya tergabung orang-orang yang melakukan desersi dari kesatuan tentara Jerman, melakukan upaya pengacauan dengan melakukan teror untuk mendorong orang-orang Aljazair melakukan tindakan balasan, sehingga mereka membatalkan gencatan senjata dengan Prancis tersebut.. Dan kemerdekaan dapat ditunda, mungkin untuk waktu yang tidak ditentukan.
Untuk melaksanakan taktik jahanam ini, komandan-komandan yang tergabung dalam dinas tentara rahasia melakukan pembersihan terhadap pemuda-pemuda Aljazair terpelajar di universitas-universitas, juga membunuh wanita Aljazair yang sedang pergi ke pasar, yang sebenarnya dilarang menyentuh mereka hingga pada saat seperti itu sekalipun.
Pada hari berikutnya, ketika anak-anak tetangga kami kembali, mata mereka menampakkan ketakutan setelah menyaksikan kebuasan yang dilakukan tentara Prancis terhadap orang Aljazair. Ibu mereka berusaha menenangkan mereka dengan mengatakan, "Sudahlah, mereka kan tak lebih dari sekadar orang Arab."
Selama masa tersebut, aku selalu menyiapkan senjataku, Walter PK. Kaliber 7,65 mm, yang siap ditembakkan. Aku berulangkali mencari rahasia yang membuat bangsa Aljazair mampu menanggung semua penghinaan ini, buruknya perlakuan, dan hukuman.
Akhirnya, aku menemukan kunci rahasianya, ketika aku sedang membaca ayat 153 surat al-Baqarah, Allah berfirman, "Hai orang-orang yang beriman, jadikanlah sabar dan shalat sebagai penolongmu, sesungguhnya Allah beserta orang-orang yang sabar."
Reaksi Kaum Muslimin
(Bonn, 17 Oktober 1964)
Selama dua tahun ini, aku mendapat pekerjaan sebagai penanggung jawab hubungan diplomatik antara Jerman dan India, Pakistan, Ceylon, Nepal, Buthan, dan Sekem. Sehubungan dengan pekerjaanku di bagian politik kementerian luar negeri.
Meskipun aku sering berhubungan dengan orang-orang Hindu dan Budha di India dan Ceylon, aku tetap tidak dapat memprediksikan dengan tepat reaksi mereka. Sebaliknya, aku merasa mampu memahami dengan tepat reaksi umat Islam Pakistan dan India, hingga mereka yang tinggal di daerah Bengali. Mudah untuk memprediksi reaksi mereka.
Fenomena ini tidak semata hasil dari adanya ikatan yang kuat antara dua bangsa Jerman dan India. Namun karena adanya penafsiran yang lebih tepat dari itu. Yaitu, karena umat Islam menganut agama yang mengambil ajarannya dari kitab samawi yang sesuai dengan kajian hukum, artinya mereka juga termasuk Ahli Kitab.
Kesimpulan ini diutarakan oleh Prof. Muhammad Hamidullah. Ia adalah seorang ilmuwan India muslim yang menguasai beberapa bahasa. Ketika ia menemukan dalam riset yang dilakukannya --pada tahun 1941--bahwa undang-undang negara Madinah yang dideklarasikan oleh Muhammad saw. pada tahun pertama Hijrah, adalah undang-undang pertama yang tertulis dalam sejarah kenegaraan.
Kita berhutang kepada Ibnu Ishaq yang menyampaikan teks undang-undang yang mencengangkan tersebut kepada kita. Berisi 52 materi dengan sempurna. Materi-materi itu mengatur ko-eksistensi sosial dan ekonomi dengan kaum Muhajirin dari Mekah dan hubungan perundang-undangan antara beberapa suku Yahudi dan bangsa Arab yang bersatu, kaidah-kaidah yang saling membantu, perjanjian-perjanjian perang, pengadilan, dan pemberian suaka politik (Muhammad Hamidullah, Awalu Dusturun Maktubun fil-'Aalami, cet. 3, Lahore 1975).
Dari perjanjian tersebut, didapatkan sesuatu yang mencengangkan sekali. Para diplomat Barat dan muslim yang mempunyai ilmu hukum yang tinggi tidak akan mampu menciptakan suatu wilayah bersama di antara mereka segera setelah mereka bertemu.
Gila Harta
(Hongkong, 16 Juni 1971)
Dalam perjalanan udaraku yang panjang ke Tokyo dan Kyoto untuk mengikuti perundingan yang akan ditandatangani oleh petugas administrasi strategi politik Jerman dan Jepang. Aku tinggal bersama pimpinanku, Dr. Dirk Ongkin, di Hongkong.
Ketika kami terbang melintas udara Vietnam, kami dapat menyaksikan serangan udara terhadap salah satu regu pasukan Ho Chi Minh yang terlihat jelas sekali. Saat itu, pramugari penerbangan Perancis menghidangkan kepada kami --kontras sekali dengan realitas yang kami saksikan--hidangan mewah dari Rumah Makan Ritz.
Selama itu, koloni Kerajaan Inggris, Hongkong, tampak menjadi salah satu contoh basis kekuatan garis belakang sebagai "wilayah bersantai". Salah seorang dari mereka berteriak dengan lantang dan jelas, "Wahai turis, kemarilah bersenang-senang bersama kami!"
Sebagai turis Barat, aku terpaksa menolak tawaran beberapa perempuan kecil, ketika aku sedang mengelilingi pusat kota. Mereka seperti sekumpulan laron. Aku amat terharu sekali mendapatkan seorang gadis kecil Cina yang bergelantungan kepadaku dan dengan memelas berkata, "Satu dolar saja tuan!" Gadis-gadis itu, jika mereka ingin mendapatkan lebih dari satu dolar, mereka harus melakukan lebih dari biasanya; melakukan seks brutal model Cina dengan anal seks.
Tidak heran, jika Angkatan Bersenjata Amerika di sana, lama sebelum ditemukan penyakit kehilangan daya tahan tubuh (AIDS), telah diserang penyakit yang menyerang organ reproduksi. Kerugian yang dialami sebanding dengan kerugian di medan perang sebenarnya.
Setiap kali pelanggaran seksual menyebabkan problem massa, reaksi umat Kristen dapat diduga. Sebenarnya, sudah ada peringatan terhadap perbuatan amoral, sehingga sebagian mereka menganggap pelanggar seksual dan pecandu obat bins sebagai korban kutukan Tuhan yang pantas.
Setelah itu, berdasarkan penafsiran-penafsiran kedokteran yang lebih ilmiah, analisa metafisika ini, yang tidak rasional, dan ditolak. Bahkan sebagian orang Kristen menganjurkan untuk berlaku baik dengan tetangga mereka yang terkena penyakit tersebut.
Umat Islam melihat hal tersebut dengan lebih dewasa. Mereka mengetahui bahwa kaidah-kaidah yang telah disyariatkan Allah SWT, bagi kehidupan manusia tidak dibuat untuk kepentingan Allah. Namun, sebaliknya untuk kemaslahatan manusia. Apakah manusia melakukan aturan nilai dan etis tersebut atau tidak, Allah SWT tidak akan dirugikan. Sesuai dengan perkataan Ibnu Arabi, "Bahwa Allah SWT tidak butuh kepada makhluk-Nya."
Jika manusia menghormati norma-norma ini, maka ia sebenarnya melakukan itu untuk kemaslahatan dirinya sendiri. Sebaliknya, jika manusia tidak melakukannya, ia tidak lebih hanya merugikan dirinya sendiri.
Aku ambil contoh pengemudi mabuk yang menabrak pohon, atau seorang homoseksual yang terkena AIDS, dan menularkannya kepada istrinya yang tidak mencurigainya; sehingga penularan itu terjadi secara otomatis. Masalah ini bukanlah masalah turunnya azab. Namun, itu adalah akibat-akibat alami murni dalam kehidupan, akibat ketidakteraturan, dan melanggar fitrah yang telah ditentukan.
Cocok sekali jika undang-undang perilaku islami (syariat) dinamakan "jalan".
Umat Islam seringkali meminta dalam doanya agar tetap berada dalam jalan ini setiap kali mereka membaca surat al-Fatihah; meminta hidayat untuk terus berada di jalan yang lurus (sirathal Mustaqim).
Di Altar Uskup Arios
(Vienna, 2 Nopember 1974)
Pengembara Inggris, Sir Richard Burton (1821-1890), tidak lama sekembalinya dari perjalanan ibadah haji yang melelahkan dan berbahaya ke Madinah dan Mekah, pada tahun 1853, menulis buku tentang perjalanannya tersebut dengan amat terperinci. Sehingga hampir menjadi sebuah deskripsi bergambar perjalanan tersebut. Dalam bukunya "Catatan Pribadi tentang Ibadah Haji ke Madinah dan Mekah", dan menjadi buku acuan yang tidak ada tandingannya tentang situasi daerah Hijaz pada masa itu.
Hal tersebut hanya menimbulkan sedikit keheranan masyarakat Viktoria, karena mereka menyangka bahwa pengakuan keislaman Burton hanyalah kebohongan besar belaka, dan pengkritik lainnya mengatakan sebaliknya: apakah Burton tidak berlebihan dalam memerankan dirinya sebagai muslim?
Sebenarnya Burton menguasai akidah, sejarah, bahasa, dan peradaban Islam sampai batas yang belum pernah dicapai oleh orang sebelumnya.
Burton tidak hanya memeluk Islam, ia juga tampak seperti seorang sufi pengikut tarekat Sayyidi Abdul Qadir Jailani.
Kenyataan itu diungkapkan olehnya secara implisit pada cetakan ketiga bukunya tersebut, tahun 1879. Dengan roh "Wihdaniyah Tasawuf"-nya. Burton mengatakan bahwa umat Islam yang menghormati Ibrahim, seperti umat Kristen Klenik (pengikut Uskup Arios). Mereka lebih dekat dengan ajaran-ajaran Almasih dibandingkan dengan umat Kristen yang mengikuti penafsiran Paus Paulus dan Uskup Ignatius setelah itu. Yang jelas, umat Islam lebih tercerahkan, lebih toleran, dan terikat dengan tali persaudaraan dari mayoritas orang-orang Kristen.
Tentunya, mustahil bagi Burton mengalahkan mekanisme pertahanan tradisional, yaitu usaha Barat untuk memalsukan fakta-fakta yang tidak sesuai dengan fanatisme mereka dalam menentang Islam.
Sekat jiwa ini --penghalang fungsi intuisi--saat ini hampir sama seperti pada masa Perang Salib, dengan mengesampingkan usaha kontemporer sikap Vatikan terhadap agama-agama langit lainnya.
Menyisipkan Sifat Pokok dalam Toleransi
(Sofia, 26 Juli 1976)
Ketika aku kembali dari menyaksikan Perlombaan Balet Internasional ke-8 yaitu perlombaan olimpiade international seni tari tidak resmi yang berlangsung di kota Parna, di pesisir Bulgaria di laut hitam. Aku menemukan sebuah gereja kecil yang dibangun lebih rendah dari jalan raya di Sofia, sehingga tampak telah terperosok ke dalam sebuah lubang. Bangunan gereja tersebut amat aneh, biasa disebut dengan Gereja Kuno Petra Smariniska. Ia adalah salah satu museum kesenian yang indah di ibu kota Bulgaria yang dibangun ketika negeri itu menjadi salah satu bagian wilayah dinasti Utsmaniyyah. Pemanduku menjelaskan letak gereja yang aneh itu, yaitu sebagai petunjuk atas perbedaan yang dilakukan oleh umat Islam terhadap minoritas umat Kristen. Namun aku melihat hal itu dari sudut pandang lain.
Aku mengetahui, umat Kristen Spanyol --setelah mereka berhasil merebut negeri mereka kembali--menghancurkan masjid-masjid, dari Malqa hingga Granada dan dari Sevilla hingga Thalitali dengan cara biadab. Bangunan megah (Istana Merah) di Cordoba, bisa selamat dari perusakan itu, semata karena ia bisa diubah menjadi gereja. Pada masa selanjutnya, pada abad 19, Masjid Jumat di Aljazair (di ibu kota) mengalami nasib serupa.
Aku juga tahu, sia-sia saja mencari satu masjid dari ratusan masjid yang dibangun di Serbia dan Yunani pada masa kekuasaan Utsmani. Di Beograd hanya didapati sebuah masjid kecil yang tidak mempunyai nilai seni arsitektur sama sekali, tidak dihancurkan bersama masjid-masjid lainnya.
Tampak kontradiksi yang mencolok sekali. Tentara-tentara Islam tidak hanya memberikan kebebasan kepada agama Kristen untuk tetap menjaga gereja mereka saja, bahkan lebih dari itu umat Islam juga memberikan izin untuk membangun gereja baru di bawah lindungan kekuasaan Islam. Apa yang lebih menakjubkan bagi turis asing dari museum arsitektur seperti gereja Byzantium Chura (Karikami) yang terkenal, dan gereja-gereja Ortodoks Romawi dan Arman di Istambul?
Apa yang mungkin akan tinggal sampai sekarang, berdiri dengan megahnya seperti seminari-seminari dan gereja-gereja Serbia di daerah Lake, Hread, Grakanika, Dikani, Sobokani, Beck, Studinika, dan Aya Sofia yang mentereng di Istambul, seandainya umat Islam bertindak seperti seekstrem umat Kristen?
Perbedaan yang jelas antara ekstremitas kristen dan toleransi Islami bersumber dari ajaran-ajaran Al-Qur'an yang mengharuskan untuk menunjukkan toleransi terhadap orang beriman dari Ahli Kitab. Ajaran itu berkembang menjadi hukum yang tersusun secara terperinci untuk menjadi minoritas dan orang asing. Ayat 256 dalam surat al-Baqarah menerangkan dengan jelas yaitu, "tidak ada paksaan untuk (memasuki) agama (Islam)."
Pluralitas agama dibolehkan dalam ayat 38 surat al-Maa'idah sebagai cara untuk perlombaan orang mukmin mencapai kebaikan kepada Allah. Dan ayat kedelapan dari surat asy-Syuura lebih menjelaskan dengan mengatakan, "Dan kalau Allah menghendaki niscaya Allah menjadikan mereka satu umat."
Toleransi seperti ini dapat lebih dipahami dengan baik jika seseorang mengetahui bahwa umat Islam memandang Yesus (Isa a.s.) sebagai nabi umat Yahudi yang terbesar "... dan apa yang telah kami wahyukan kepadamu dan apa yang telah kami wasiatkan kepada Ibrahim, Musa, dan Isa." (asy-Syuura: 13).
Di bawah lindungan hukum Islam yang bebas yang mengatur hak-hak minoritas dan hak-hak mereka. Islam memberikan toleransi bagi umat Kristen untuk mengatur masalah-masalah kelompok mereka dan melakukan ibadah mereka di gereja. Orang-orang nonmuslim dibebaskan dari kewajiban militer sebagai kompensasi dari membayar jizyah yang adil, sebelum timbul pemikiran, "menolak wajib militer karena panggilan hati," sejak zaman lalu.
Begitu juga kelompok-kelompok Yahudi dalam kekuasaan Kristen, ahluz-zimmah di negeri-negeri Islam diharuskan memakai pakaian tertentu. Mereka tidak diperkenankan untuk memangku jabatan pemerintahan atau militer. Namun, mereka diperbolehkan untuk bersaing di pasar (berdagang), menciptakan karya seni, memproduksi, mengkonsumsi daging babi, dan meminum anggur.
Sesuai dengan fikih Islam --begitu juga undang-undang Romawi--disyariatkan prinsip menunaikan perjanjian tanpa memperhatikan agama rekan bisnis.
Sayangnya, Perang Salib telah menyebabkan banyak kekeliruan dalam praktiknya, bertolak belakang dengan prinsip-prinsip teoretis, sehingga terjadi kemerosotan yang jelas pada institusi-institusi Kristen di bawah kekuasaan Islam. Akibatnya, --dari perang-perang ini--tidak diperbolehkan bagi nonmuslim pada masa-masa akhir zaman pertengahan membangun gereja lebih tinggi dari masjid yang dekat dengannya. Oleh karena itu, Gereja Petra Samariniska dibangun rendah. Juga benar para ahli fikih mazhab Syafi'i mengharamkan membunyikan bel gereja.
Namun, apa nilai perbedaan seperti ini dibandingkan dengan kenyataan bahwa penguasa-penguasa Kristen tidak hanya mengharamkan azan untuk shalat, bahkan mereka mengharamkan Islam.
Puasa dengan Suatu Tujuan
(Beograd, Ramadhan, 1977)
Tukang kebun yang bekerja untukku adalah seorang Albania dari daerah Kosovo Serbia yang terletak di barat daya Yugoslavia. Ia seorang pria kurus kering seperti sebuah tongkat. Ia adalah seorang muslim yang wara. Ia berusaha melakukan puasa pada bulan Ramadhan satu bulan penuh sehingga cocok dengan namanya "Ramadhani, Ramadhan", tanpa mengurangi satu pun dari kewajiban pekerjaannya. Setelah ia berbuka puasa dengan makanan ringan, pada waktu yang telah ditentukan pada sore hari. Ia kemudian berjalan sejauh tiga mil menuju masjid satu-satunya di Beograd, dekat dari kebun "Kalyumjidan", untuk melakukan shalat isya bersama teman-temannya --orang-orang Albania, teman-temannya dari Sarejevo, Mostar, serta lainnya. Kota-kota yang terjalin di negeri Islam yang bergabung dengan negara ateis Yugoslavia: Bosnia-Herzegovina.
Berkali-kali, kami mengundang Ramadhani, untuk berbuka puasa bersama kami. Ini adalah kesempatan kami satu-satunya, karena ia menolak makan bersama kami, walaupun hanya sekadar segelas kopi pada pagi hari, jika telah tampak garis putih fajar.
Aku juga menyaksikan kejadian serupa, pada waktu lain, bersama seorang muslim lain yang sedang puasa, dalam perjalanan udara dari Yugoslavia ke Istambul. Ia terus melihat jam tangannya berkali-kali tanpa menyentuh makanannya, dan menolak ketika pramugari mengambilnya hingga datang waktu berbuka.
Jika tujuan di balik itu adalah semata-mata untuk menurunkan berat badan, mengobati tubuh dengan membersihkannya, atau menguatkan semangat dengan melakukan latihan olahraga akal, maka tidak penting kapan puasa dimulai dan kapan berhenti.
Semua hasil itu tidak lebih dari sekadar hasil sampingan, karena sorang muslim harus melakukan puasa bulan Ramadhan. Hal itu tidak untuk apa-apa, semata-mata karena Allah SWT mewajibkannya kepadanya.
Tanpa Wahyu, Kita akan Terus Tersesat (Buta)
(Beograd, 28 Maret 1978)
Aku terbiasa membaca dua buku sekaligus secara bergantian, berpindah dari suatu topik sulit ke topik lainnya. Sekarang ini aku masih menggunakan metode ini dalam membaca karya-karya klasik filsafat Islam, yang dihasilkan pada abad ke-10 sampai abad ke-13. Seperti kitab, Tahafutut-tahafut karya Ibnu Rusyd yang diterjemahkan oleh Simon Van Den Berg (London, 1969).
Sesuai dengan kebiasaan para ilmuwan Barat hingga kurun waktu awal abad ke-19 dan selama abad itu dalam mendiskusikan masalah dialektika, Ibnu Rusyd menggunakan metoda penghinaan dan mencerca musuh bebuyutannya yang terkenal: Abu Hamid al-Ghazali Tahafutul Falasifah, hingga akhir paragrafnya sambil mengkritik semua pemikiran tersebut. Ia mengawali kritiknya itu dengan redaksinya yang membingungkan yaitu, "Sedangkan saya berkata...."
Pada masa-masa awal abad pertengahan, para filosof muslim telah terpancing pada pertanyaan-pertanyaan yang sama yang diceritakan oleh guru-guru mereka dari Yunani. Oleh karena itu, mereka menggunakan metode Plato, Aristoteles, Plotinus, dan Brukies. Sehingga para filosof Persia dan Arab hanya mengkaji masalah-masalah fisik kosmos (atau penciptaannya), hubungan antara maujud, kemungkinan, dan sifat roh. Karena kekaguman para ilmuwan muslim tersebut terhadap ilmu kosmos, dan mereka terus bertanya-tanya apakah Allah adalah Penggerak Pertama? Apakah Dia kausa berputarnya materi-materi langit sesuai dengan putarannya dan tidak sebaliknya? Dan berapa jumlah malaikat?
Sedangkan masalah yang paling hangat dalam wacana kajian filsafat sekarang ini, seperti kausalitas dan eksistensi, tidak mendapat perhatian secukupnya dari mereka pada masa itu. Mereka hanya mendekati kajian ini jika bersentuhan dengan pertanyaan seputar: apakah Allah SWT telah menyelesaikan kemauan-Nya ketika menciptakan semesta? Ataukah Aristoteles telah meletakkan ular ini, pada akal para filosof muslim itu sehingga kajian fisafat mereka hanya terbatas pada filsafat zaman lain saja? Ataukah mereka telah menyadari bahwa usaha mereka yang berlebihan dalam mencari motif-motif Tuhan, adalah tidak terpuji? Lebih-lebih karena hal itu menimbulkan kekafiran?
Zaman telah menyimpan hasil karya banyak pemikir-pemikir muslim, dengan kecerdasan luar biasa mereka, digores oleh pena para tokoh pemikir seperti ar-Razi, al-Kindi, al-Farabi, Ibnu 'Arabi, dan Ibnu Sina, dan pemikir-pemikir yang telah disebutkan sebelumnya.
Masalah yang paling banyak menarik perhatianku --saat ini--kita baru menyadari bahwa menundukkan masalah metafisika pada metode penafsiran logika, tidak akan mengantarkan kita kecuali kepada hasil-hasil nonlogis. Sebenarnya para tokoh filsafat tersebut tidak berdalil dengan pasti, kecuali atas satu masalah saja. Yaitu, kita --dengan logika manusiawi kita--tidak akan mampu menangkap hakikat yang terpendam dengan yakin.
Bagi Allah SWT tidak ada wujud pada masa lalu atau masa yang akan datang, dan sifat wujud-Nya tercerminkan pada keberadaan-Nya sejak zaman azali. Itu berarti keberadaan-Nya di luar batasan ruang dan waktu, maka apa yang akan kita dapati dari pertanyaan-pertanyaan kita yang rasional dan tidak logis itu?
Di belakang teka-teki wujud ini, hingga fenomena-fenomena yang bisa diketahui dengan indra kita, seperti yang kita ketahui dengan penciuman, sentuhan atau penglihatan, masih tetap sulit dipahami. Dengan kata lain, tanpa wahyu kita memang akan terus tersesat dan buta
Segelas Besar Air
(Beograd, Ramadhan 1978)
Aku memutuskan untuk mencoba berpuasa pada tahun ini, dan akan menjalankan apa yang wajib bagi seorang muslim secara literal pada masalah ini. Ada sedikit catatan, yaitu berbeda dengan tradisi yang berkembang di negara-negara Islam. Aku tidak berusaha mengganti pada malam hari --dengan meninggalkan tidur-makanan yang tidak aku makan pada siang harinya--apakah ini sesuai dengan semangat larangan makan daging pada hari-hari perkumpulan, pada saat umat Katolik mengadakan acara memakan laut pada hari-hari itu?
Yang jelas, catatan terpenting adalah orang yang mau melakukan ibadah puasa agar minum sepuas-puasnya sebelum memulai puasanya tersebut --namun tidak perlu mengkomparasikan manusia dengan unta yang diberikan penampungan air alami oleh Allah SWT.
Dua hari pertama adalah hari-hari yang paling sulit, karena orang yang puasa akan mengalami pusing-pusing. Namun demikian, aku menyarankan agar meneruskan puasanya hingga batas yang dibolehkan syara' untuk membatalkan puasanya, seperti jika berada dalam perjalanan.
Sepanjang siang, orang hendaknya mempersiapkan diri untuk menggunakan kemampuan biologisnya yang tertinggi ketika mencapai puncak reaksinya. Oleh karena itu, aku membagi pekerjaanku menjadi: kelompok pekerjaan yang harus dilakukan, pekerjaan yang sebaiknya dilakukan, dan kelompok pekerjaan yang boleh dilakukan.
Aku terus melakukan pekerjaan yang harus aku lakukan ketika tekanan darah mencapai puncak alami tertingginya, sekali pada pagi hari, dan lainnya pada waktu siang. Ketika menyetir mobil, saat berkurangnya kandungan gula dalam darah atau berkurangnya tekanan darah, aku berusaha keras agar tidak membahayakan kehidupan orang lain (begitu juga hidupku). Karena kecelakaan-kecelakaan yang mematikan akibat keteledoran dan hilangnya kesadaran telah terjadi ribuan kali.
Ketika seseorang berpuasa di Yugoslavia, ada sesuatu yang akan ia catat, yaitu ia tampak asing bagi tempat itu. Misalnya, ketika ia bekerja pada Kementrian Luar Negeri di Kniza Milusya. Ia terpaksa menolak ungkapan penghormatan tradisional yang diberikan kepadanya, berupa kopi Turki, juice, dan air.
Namun, ketika aku menolak dengan hormat keteledoran ini pada bulan Ramadlan, mereka cukup memahami bahkan menghormati. Ini terjadi karena negara ateis tersebut melindungi penduduk muslim yang berjumlah sekitar 1 juta orang.
Selesai melaksanakan puasa selama seminggu --tidak kurang dari delapan belas jam sehari jika Ramadhan bertepatan dengan musim panas--seseorang mencapai tahap merasa terbiasa berekonomis dalam bergerak dan berbicara. Gerakanku bertambah lambat dan aku tidak merasa perlu berbicara, kecuali jika sangat penting. Aku memperhatikan apa yang terjadi di seputarku, yaitu fenomena-fenomena berlebihan dan pemborosan dengan pandangan dingin. Dari hari ke hari aku merasa lebih bebas dan lebih arif.
Ketika aku mulai menyantap makananku, pada sore hari setelah gelap dengan zaitun dan segelas besar air, seperti tradisi yang berlangsung, aku merasa seperti sedang duduk di depan hidangan yang penuh dengan makanan-makanan yang lezat.
Kemudian, tubuh hampir sama dengan tumbuhan yang baru disiram setelah lama kehausan. Baginya cukup sedikit kadar makanan untuk mengembalikan vitalitasnya dengan cepat. Itu karena aku mencoba nikmatnya makanan vegetarian yang ringan.
Hari demi hari, perasaan religius akan semakin meningkat, juga keyakinan pada kemampuannya untuk mengatur urutan prioritasnya.
Pada analisa terakhir, bukankah tujuan pokok puasa adalah menguatkan daya tahan manusia menghadapi godaan yang dinamakan syirik. Atau dengan kata lain, melawan kecenderungan menuhankan semua hal yang tidak penting sama sekali dalam kehidupan manusia.
Ketinggian Roh dan Kepedihan Tubuh
(Adorno, 12 Juli 1978)
Sannan Kabir, arsitek Sultan Suleiman al-Kabir --sejak tahun 1539--mencapai puncak karier seninya ketika membangun Masjid Sulaimaniyyah di Aderna, antara tahun 1567 hingga tahun 1574.
Hanya sejumlah kecil pengunjung masjid ini saja yang mengetahui bahwa ia dapat membuat tiga tangga berbeda sekaligus di dalam satu menara yang tinggi. Ketiga tangga ini saling berkelindan satu sama lain tanpa berbenturan, kecuali pada tempat masuk, dan tempat keluar bersama.
Tidak seperti lazimnya, penjaga masjid mempersilakan aku untuk menaiki tangga tersebut. Aku merasa sangat tegang ketika berusaha keras menaiki tangga dalam kegelapan pekat yang membuat terkejutnya walet-walet dan burung-burung --mereka juga membuat aku terkejut dengan gerakan mereka. Aku terus melangkah ke depan melalui tangga yang miring sekali itu. Di depanku tidak ada jalan lain untuk bergerak di dalam lingkaran tangga yang sempit ini. Tiba-tiba lututku bergetar, namun aku tidak berpikir untuk kembali, karena aku tidak bisa memutar tubuhku.
Meskipun situasi tersebut amat berat, aku merasakan sesuatu yang dalam. Aku tidak tahu kapan akan selesai menaiki tangga ini, meskipun aku tahu itu pasti dan akan terjadi. Aku telah memilih satu jalan dan mengambil sikap yang tidak bisa dicabut kembali.
Ketika aku turun, tubuhku telah dikotori berbagai macam kotoran. Perasaan capai menggelayutiku dan pegal-pegal begitu terasa. Aku merasa telah melakukan sesuatu yang besar, yaitu menggapai ketinggian rohani dengan menanggung kepedihan tubuh.
Pertandingan Balet dan Pertandingan dalam Agama
(Beograd, 26 Januari 1979)
Sebagai pengacara muda, kritikus seni balet, dan sekretaris pelaksana klub balet di Munich, aku bisa mengadakan pesta tari setiap tahun di Opera Gartiner Blatz, di kota tersebut. Acara itu selalu diisi dengan pertunjukan yang dilakukan oleh sekolah-sekolah balet khusus, dan tidak dihadiri oleh para pengawas.
Tujuanku sebenarnya, dari pelaksanaan acara tersebut, adalah aku ingin membuktikan kepada penguasa sederhana, dan para pelajar balet bahwa ada perbedaan yang besar antara sekolah-sekolah balet di kota itu. Sebagian dari mereka meningkat peringkatnya hingga mencapai level sempurna, dan sebagian lain lagi melorot peringkatnya sehingga perlu ditangisi.
Aku berharap dengan mengikutsertakan kelompok kedua ini --yang masih lemah (pen)--bersama kelompok berlevel sempurna, maka akan mendorong mereka untuk meningkatkan dirinya.
Gerhard Zeisney, diam-diam, telah melakukan tindakan yang sama, dengan tujuan yang sama, ketika ia mempublikasikan hasil jajak pendapat akademis antara para agamawan Katolik, Protestan, Budha, Islam, dan Yahudi (Die Antwort, der Religionen", Rororro 1971, first edition, 1964).
Apa pun hakikat tujuan panitia yang sebenarnya, yang paling menyedihkan adalah membaca jawaban-jawaban tidak jelas dan mengejek yang diberikan oleh dua orang utusan agama Kristen. Kontradiksi dengan jawaban Muhammad Asad dari agama Islam dan Kirt Wilhem dari agama Yahudi, yang ringkas, padat, dan fair.
Profesor penganut Protestan, Ernest Wolf, mengkaji hubungan antara hakikat yang dicapai dan indra. Dan yang dicapai bukan dengan indra --dalam beberapa halaman artikelnya. Namun, ia tidak pernah menyebut Tuhan, sekalipun dalam artikelnya itu.
Aku ingin menunjukkan betapa Prof. Katolik Johan Baptista Mitz telah begitu panjang lebar menjelaskannya. Ia berkata, "Selama masih ada keyakinan bahwa wahyu yang diturunkan melalui Yesus Almasih adalah kejadian satu-satunya, sehingga pertanyaan mengenai eksistensi manusia mendapatkan jawaban historis yang jelas dan kuat, maka jawaban tersebut harus terus mantap, meyakinkan, dan dapat dipahami manusia sepanjang sejarah. Hal itu dapat benar-benar diwujudkan dengan petunjuk kitab suci. Meskipun wahyu yang tertulis itu diturunkan di tengah-tengah bangsa yang telah memiliki kitab suci historis yang pasti." Apakah itu?
Sebaliknya, Muhammad Asad dengan tenang berkata, "Islam tidak melihat hakikat dengan sudut pandang ganda. Oleh karena itu, orang tidak akan menemukan kontradiksi antara 'hakikat yang lain' dan 'hakikat menurut kami.' Karena berbicara mengenai segi-segi yang diketahui dan tidak diketahui hanya boleh dilakukan dari satu hakikat yang holistis."
Ia berkata lagi, "Ilmu-ilmu alam sendiri tidak dapat membantu kita membongkar seluruh hakikat, sehingga Allah SWT memberikan kita hidayat penting yang tidak mungkin diberikan oleh ilmu pengetahuan. Dia memberikan hidayat tersebut kepada kita dalam bentuk wahyu yang diberikan kepada orang-orang yang telah dipersiapkan dengan kemampuan tertentu untuk menerima wahyu tersebut. Mereka dikenal sebagai nabi-nabi." Itulah konklusi pembicaraannya.
Qadha dan Qadar, Bukan Alasan untuk Pasrah
(Bonn, 27 Februari 1980)
Buku sejarah karangan Muhammad Asad --Road to Mecca (Frankrut;1955)--mengajariku satu segi yang amat menarik, yaitu bahwa determinisme Timur tidaklah bermakna menentukan sikap bagi masa depan. Namun terhadap masa lalu, jika benar apa yang aku pahami.
Penyerahan diri dengan takdir (nasib) bukanlah alasan untuk pasrah. Sebaliknya, itu adalah keimanan bahwa Allah-lah yang telah menentukan semua yang telah terjadi, kita senang atau tidak.
Yang menarik perhatianku adalah pendapat yang diungkapkan oleh Muhammmad Asad. Intinya bahwa permusuhan dualisme terhadap syahwat "tubuh" yang dibawa oleh Paus Paulus bagi gereja Kristen telah merendahkan kemuliaan manusia sebagai satu eksistensi yang utuh. Akibatnya, ajaran Mazdaisme menyusup dengan topeng Kristen, membuat pemisah --sampai saat ini--antara yang dianggap "sakral" dan "profan". Pemikiran seperti itu amat asing bagi pandangan Islam yang komprehensif terhadap manusia.
Asad kembali menarik perhatian, ketika ia mengungkapkan fakta --yang sampai saat ini masih jarang diketahui--yaitu bahwa Muhammad saw telah melakukan revolusi dalam sistem nilai masyarakat Arab pada masa itu. Maka, beliau memperkenalkan pemahaman politik yang baru sekali, yaitu tentang masyarakat yang menggantikan ikatan-ikatan kesukuan yang kepentingannya mengalahkan semua kepentingan orang lain --seperti kecenderungan nasionalisme pada zaman sekarang. Kemudian beliau menyatukan umatnya dengan ikatan solidaritas agama saja.
Shalat yang diajarkan Nabi Muhammad saw juga telah mencabut akar kesombongan dan kebanggaan pada jiwa kaum Badui Quraisy, dan menggantinya dengan sujud mereka yang khusyu ketika shalat.
Pertunjukan Kaum Darwisy
(Konia, 13 Juli 1980)
Dari hotel, aku dapat menyaksikan pemandangan yang mengagumkan, kubah hijau makam Maulana Jalaludin Ar-Rumi, yang merupakan tiruan kubah Masjid Nabi saw. di Madinah Munawwarah. Tarekat Ibnu Rumi yang terkenal dengan darwisy-darwisy berputarnya (tarekat Maulawiyyah) masih terus hidup, meskipun telah dilarang oleh Kemal Attaturk, pada 13 Desember 1925 --seperti jemaah Jesuit yang dilarang oleh Paus pada tahun 1773, dan berlangsung selama empat puluh satu tahun.
Sekarang, para darwisy mempertunjukkan tariannya sebagai pertunjukan hiburan seni rakyat. Namun, pertunjukan-pertunjukan itu menunjukkan bahwa sebenarnya pergelaran itu adalah salah satu bentuk ritus-ritus keagamaan yang berkembang dalam Islam. Karena tampak dengan jelas, gerakan berputar terus-menerus yang dilakukan oleh para darwisy bukanlah satu jenis tarian yang aneh, namun ia adalah cara untuk menenggelamkan diri dalam meditasi.
Pembimbing yang mengajariku meniup serunai adalah darwisy yang sangat bersemangat. Ia berusaha mendorongku --sebelum mempelajari Al-Qur'an-untuk membaca buku sastra karangan gurunya, Ibnu Rumi, yang tebal bernama: al-Matsnawie, yang merangkum kumpulan syair-syair sufi yang besar.
Tidak aneh jika guruku tersebut sangat tertarik dengan syair sufi Ibnu Rumi, karena ia bermuatan cinta dan kerinduan yang meluap-luap, yang melebur semua perbedaan dogmatis.
Para darwisy menuntun pengikutnya menuju kesatuan dalam Islam, di bawah bayangan mazhab wihdatul-wujud. Apakah ini yang dimaksud dengan tarekat?
Paus Paulus Pembuat Klenik
(Istambul, 20 Juli 1980)
Tidak seorang pun yakin bisa menjawab pertanyaan-pertanyaan mengenai berapakah tinggi Almasih? Apa warna kesukaannya? Apakah ia lebih menyukai madu atau bawang putih? Dan sepatu sebelah mana yang ia pakai pertama kali pada waktu pagi?
Sebenarnya, semua masalah tersebut hanyalah masalah sekunder dalam kehidupan manusia yang agung. Namun, yang patut dicatat, kita mengetahui semua detail tersebut, dan tentang Nabi Muhammad saw.. Sementara, Almasih tampak dalam Kitab Injil seperti sosok mitos yang tidak jelas wujudnya.
Ada penafsiran yang lebih baik tentang banyaknya hadits yang dikumpulkan dan dipelajari dengan seksama pada periode awal Islam. Kemudian hadits-hadits tersebut sampai kepada kita dalam kumpulan hadits-hadits agung yang diriwayatkan oleh orang-orang terpercaya saja dari para saksi langsung. Sedangkan Kitab-kitab Injil sendiri tidak lebih dari kumpulan yang dilakukan pada abad-abad selanjutnya yang dicatat dari desas-desus.
Kita tidak pernah mendengar sebuah ucapan-ucapan dari Yesus yang ia riwayatkan sendiri. Sebaliknya, yang kita baca adalah penafsiran-penafsiran orang lain tentang perkataan-perkataannya.
Karena Perjanjian Baru adalah sumber sekunder bukan sumber pokok langsung, maka ia sama sekali tidak pantas diletakkan sejajar dengan Al-Qur'an. Mungkin lebih tepat jika ia dikomparasikan dengan kumpulan hadits-hadits yang diragukan kesahihannya (hadits dha'if).
Yang paling sulit adalah jika prinsip-prinsip kajian historis Islam dipraktekkan atas Perjanjian Baru, sehingga seluruh surat-surat Paus Paulus harus dibuang, karena ia sama sekali tidak pernah melihat, bertemu atau berbicara dengan Almasih.
Karena kuatnya pengaruh penafsiran-penafsiran yang diberikan oleh Paus Paulus terhadap kejadian-kejadian seputar Almasih, dalam perkembangan ideologi Kristen, maka Kristen sekarang ini --berbeda dengan penganut Kristen awal dari umatYahudi--lebih cocok dinamakan sebagai "pengikut Paulus", bukan "pengikut Almasih".
Sebenarnya, seluruh bentuk-bentuk klenik dalam agama Kristen: seperti penuhanan Almasih, Trinitas yang disucikan, dan menambahkan bentuk Roh Kudus terhadap tubuh, diawali oleh Saul Paulus.
Etika Muamalah Islam
(Istambul, 22 Juli 1980)
Ketika aku mendatangi lokasi pasar tertutup Istambul Timur (al-Kabali Syarasy), aku berhenti sebentar di depan tempat penjualan hadiah-hadiah suvenir. Saat itu tidak ada seorang penjaga pun, tiba-tiba penjaga toko sebelah menghampiriku, dan menawarkan barang-barang milik tetangga tokonya itu --tidak berusaha membujukku untuk membeli di tempatnya, dan tidak berusaha menjual demi keuntungannya.
Di tempat lain, aku membayar tunai harga baju kulit yang telah dibuatkan bonnya dan akan dikirirnkan kepadaku sesampaiku di Jerman --aku tahu, aku akan menerima barangku itu, meskipun aku sama sekali belum pernah menjumpai pedagang itu sebelumnya.
Pada kesempatan lain, istriku meminta pedagang perhiasan untuk menentukan harga permata murni miliknya. Pedagang itu kemudian mengambil perhiasan tersebut dan menghilang ke dalam selama setengah jam. Selama itu, ia menghubungi temannya yang lebih berpengalaman darinya dalam masalah perhiasan --dan kami tidak merasa gelisah, karena kami percaya bahwa kami akan mendapatkan kembali permata tersebut, bukan gantinya.
Bagaimana menjelaskan prinsip-prinsip etika muamalah ini; seorang pedagang bersikap mementingkan pedagang lain, bukannya menampakkan dorongan kompetisi berdarah? Apakah sikap ini telah meningkat ke dalam dunia kasat mata di pasar Timur? Ataukah etika ditanamkan oleh prinsip-prinsip akhlak yang mulia lainnya yang berkembang pada kelompok-kelompok profesi dalam era sistem pemerintahan yang lama?
Ataukah ia adalah hasil mazhab Qadariyyah dalam memandang proyek ekonomi? Atau ungkapan dari rasa persaudaraan kuat yang tercermin dalam dunia usaha?
Etika muamalah Islam dihiasi muatan hakiki. Anda akan menyesal meletakkan sistem perekonomian Islam hanya sebagai alternatif pengganti. Meskipun etika semacam ini banyak kita temukan --terutama yang berkaitan dengan sistem bank nirlaba--namun kita tidak menemukan satu pun contoh sistem dunia usaha yang bercorak Islam secara utuh.
Salah satu sebab utama keadaan ini adalah tidak adanya sistem formal muamalah Islam yang telah tersusun dan sempurna, seperti bentuk Undang-Undang Dasar Republik Persatuan Jerman dan Undang-Undang Amerika Serikat. Al-Qur'an dan al-Hadits telah menggariskan, dalam banyak tempat, nilai-nilai pokok kerangka sistem ekonomi pasar yang bersendikan kepemilikan pribadi dan tanggung jawab sosial.
Sedangkan kaidah-kaidah yang lebih terperinci yang telah ada, cakupannya hanya terbatas dalam masalah transaksi dan penentuan pajak, yang melarang riba dan muamalah yang mengandung unsur perjudian/spekulasi.
Oleh karena itu, kita bisa menemukan substansi etika muamalah Islam dalam perintah-perintah moral Al-Qur'an yang berhubungan dengan masalah tersebut. Ia tidak banyak berbeda dengan dasar-dasar perekonomian Kristen.
Sebenarnya, kita temukan bahwa Islam mampu melakukan perbaikan-perbaikan dalam perilaku dunia usaha. Setidak-tidaknya dengan melakukan perbaikan pelaku usaha tersebut. Karena pada akhirnya yang terpenting bukanlah sistem, namun rasio ekonomi, moralitas produsen, konsumen, grosir, dan pengecer yang mempunyai rasa kesetiakawanan sosial.
Tiga Kali, Bukan Empat
(Istambul, 29 Juli, 1980)
Udara di Istambul amat lembab dipenuhi dengan uap air. Saat itu, aku sedang melakukan pertempuran lalu-lintas dengan menggunakan mobil, dan kedua kaki yang mulai kesakitan. Aku berencana mengunjungi beberapa teman yang aku sempat hubungi lewat telepon.
Aku tekan tombol bel pintu, dan sekali sebentar kemudian aku tekan yang ketiga kalinya, namun tetap tidak ada yang membalas. Aku berputar untuk kembali dengan tenang, aku tidak ingin menekan bel yang keempat kalinya karena itu tidak boleh.
Kebiasaanku berlaku seperti itu, tanpa sadar telah mengikuti Sunnah Rasulullah saw., padahal aku lakukan itu semata mengikuti tradisi di negeri Islam. Etika tersebut dapat disandarkan pada hadits yang mengatur norma-norma etika, seperti dalam kitab susunan al-Bukhari, kitab ke-74. Kitab itu berisikan sekumpulan hadits-hadits dan terkenal dengan nama Shahih al-Bukhari.
Pada hadits nomor 261, yang diriwayatkan oleh Malik bin Anas bahwa Nabi Muhammad saw. ketika meminta izin untuk masuk, hanya mengucapkan salam sebanyak tiga kali, tidak lebih. Jika pintu tetap tertutup, maka Nabi dapat berkesimpulan bahwa tuan rumah sedang pergi, atau mereka enggan menerima tamu.
Ini hanyalah satu dari sekian contoh yang menunjukkan atas Sunnah Nabi Muhammad saw. yang lebih tertransformasi menjadi perilaku hidup umat seluruhnya. Tiap kali aku mempelajari kumpulan hadits-hadits yang tebal, terutama hadits-hadits yang dikumpulkan oleh Bukhari dan Muslim, aku menemukan hakikat-hakikat sosiologi baru. Dan aku menyadari betapa besar kekayaan peradaban Islam.
Road to Mecca
(Bonn, 18 Agustus 1980)
Menjelang akhir abad dua puluh, kita bisa mengatakan bahwa dalam kurun waktu seratus tahun terakhir ini, tidak ada seorang pun yang mampu menandingi jasa seorang Austria, yaitu Muhammad Asad --sebelumnya bernama Leopold Weist dan berasal dari keturunan Yahudi--dalam menjelaskan dan menyebarkan Islam di Barat.
Pengaruhnya yang kuat tidak hanya karena otoritas keilmuan dan kearifannya saja. Namun, juga didukung oleh perilaku muslim yang tangguh ini sehingga mendapatkan penghargaan yang pantas.
Muhammad Asad dilahirkan pada tahun 1900 M. Ia hidup dalam kehidupan yang penuh petualangan yang memberikan kepadanya banyak kesempatan untuk menunjukkan kemampuannya yang banyak pula.
Ketika Asad menginjak usia 14 tahun, ia lari dari rumahnya untuk bergabung dalam perang dunia pertama. Ia dapat meyakinkan tentara Austria untuk memasukkannya dalam barisan tentara. Pada usia 19 tahun, ia bekerja sebagai pembantu Doktor Mornoe. Kemudian, setelah itu pada Maks Rainhart. Kedua lelaki tersebut adalah produser film terkenal pada masa awal perfilman.
Pada usia 22 tahun, ia telah menjadi koresponden koran Jerman yang paling terkenal "Frankfurt Zeitung" untuk wilayah Timur Dekat. Setelah memeluk Islam, pada tahun 1926, ia menjadi sahabat Raja Ibn Sa'ud dan Muhammad Iqbal.
Pada akhir Perang Dunia II, ia sedang berada di India. Dan ketika negara Pakistan didirikan, ia menjabat sebagai pembantu menteri luar negeri untuk urusan Timur Dekat, di kementerian luar negeri negara yang masih bayi tersebut. Kemudian mengirimnya ke New York sebagai perwakilan tetap mereka di PBB.
Itu hanya sebagian dari peran penting yang dimainkannya pada masa hidupnya yang pantas dikagumi. Ia menggabungkan pemikiran dengan perbuatan, filsafat dengan agama, dan seni dengan politik dalam format keislaman yang hakiki. Dengan demikian, Asad dapat dianggap sebagai tokoh kebangkitan Islam.
Saat ini, seluruh buku-bukunya dapat digolongkan dalam kelompok klasik asli. Bukunya: "Islam di Persimpangan Jalan" (1934), banyak berperan dalam mengembalikan kemuliaan dan keyakinan dunia Islam terhadap kebudayaannya sendiri setelah kehilangan kepercayaan terhadap dirinya sendiri di hadapan perang kemajuan teknologi Barat. Semenjak lebih 50 tahun yang lalu, di New Delhi, ia telah menulis dengan pandangan yang jauh dan mengagumkan sambil memprediksi sebagai berikut, "Tampaknya berkembangnya kegelisahan sosial dan ekonomi, juga mungkin terjadinya rentetan Perang Dunia dengan dimensi yang sebelumnya tidak diketahui, dan bermacam ketakutan yang diciptakan dunia, akan menjebloskan terpaksa mencari kembali ketenangan dan hakikat rohani. Pada saat itulah dakwah Islam akan banyak mendapat sambutan."
Dalam otobiografinya yang terkenal "Road to Mecca", Muhammad Asad menjelaskan proses ia memeluk agama Islam.
Dalam buku karangannya: "Dasar-dasar Negara dan Pemerintahan dalam Islam" (1961), Muhammad Asad mengakui, tanpa keraguan, bahwa tidak ada satu pun negara Islam yang sebenarnya pada masa pasca-Abu Bakar, Umar, Utsman, dan Ali, keempat khalifah yang memerintah di Madinah. Ia juga berpendapat bahwa Al-Qur'an dan As-Sunnah hanya menjelaskan amat sedikit dasar-dasar pembentukan negara dan masyarakat Islam.
Dalam karangannya tersebut, ia telah menarik kesimpulan-kesimpulan yang amat penting, antara lain sebagai berikut. Pertama, menteri fikih Islam dalam perkembangannya selama delapan abad telah menjadi jauh lebih besar dari asal pokoknya (syariat Al-Qur'an).
Kedua, dalam kerangka undang-undang (tasyri') yang merupakan refleksi dari dasar pokoknya ini, negara Islam mendapatkan beberapa ciri yang amat mirip dengan demokrasi parlementer dan hukum positif, termasuk di antaranya Dewan Kepresidenan dan Mahkamah Agung Amerika.
Ketiga, oleh karena itu, pergerakan Islam tidak perlu menuntut untuk mengembalikan pemerintahan agama kembali.
Di Madinah al-Munawwarah, di bawah beberapa kesulitan, Asad dapat menyelesaikan karyanya yang paling cemerlang. Ia menerjemahkan dan memberi komentar atas juz pertama kumpulan hadits Bukhari: Shahih al-Bukhari, Tahun-tahun Pertama Keislaman (1938) dan menerjemahkan Al-Qur'an seluruhnya: "Risalah al-Qur'an" (1980).
Terjemahan yang agung ke dalam bahasa Inggris, dengan bahasa Shakespeare ini mewujudkan karya sastra, ilmiah, dan sejarah yang penting. Asad, dalam memberi catatan kaki terhadap Al-Qur'an, banyak berhutang pada reformer besar Mesir Syekh Muhammad Abduh, dengan bukunya "Risalah Tauhid". Ia mengikuti Abduh dalam syarah-syarahnya dan dengan metode rasional yang langsung menuju pokok masalah.
Dalam karyanya itu, ia selalu menyesuaikan dengan penemuan terbaru dalam ilmu bahasa dan ilmu-ilmu alam. Juga menghindari pemberian penghormatan imitatif atas tindakan yang menipu dan mitos-mitos yang menutupi substansi hakiki Islam, sehingga menolak untuk dikaji secara rasional.
Tokoh agung ini, dalam pembelaannya terhadap nilai-nilai rohani dan etikanya, setelah mencapai usia delapan puluh tahun, berpindah dari Madinah ke Tonja. Dari sana ia pindah ke Lisabon, selanjutnya ke Spanyol, untuk membuktikan kepada semua orang bahwa Muhammad Asad tetap jujur dengan dirinya: sebagai kritikus, penggerak, dan tetap energik.
Keselamatan dalam Islam
(Bonn, 25 Agustus 1980)
Pemikiran tentang dapat dibelinya pengampunan, dengan mengorbankan seorang pria, wanita, atau hewan, tampak populer pada masa lalu dan melekat dalam paganisme. Pemikiran seperti itu tentunya ada sebelum mengenal Allah Yang Maha Pengasih lagi Maha Penyayang. Ketika kaum dogmatis dari umat Kristen melegitimasi penyaliban Almasih sebagai "korban wajib dengan kematiannya", mereka sebenarnya berdalih dengan logika yang sama digunakan paganisme dalam berkorban.
Mereka berkata bahwa Tuhan harus mengorbankan diri-Nya sehingga mampu memberi ampunan? Baiklah, aku bertanya, siapa yang bisa memaksa Tuhan untuk melakukan itu, dan mengharuskan syarat ini atas diri-Nya? Bukankah itu jelas melecehkan?
Deskripsi tentang Allah SWT, yang dipresentasikan Al-Qur'an kepada kita dalam surat al-Fatihah dan ayat Kursi (al-Baqarah:255), amat jauh berbeda dengan deskripsi tentang bentuk manusia, dan jauh lebih tinggi dari pemahaman Kristen tentang Allah.
Yang amat penting dicatat dalam Al-Qur'an bahwa Al-Qur'an tidak mengakui adanya perantara dalam hubungan antara Tuhan dan hamba-Nya; "Tiada yang dapat memberi syafaat di sisi Allah tanpa izin-Nya" (al-Baqarah: 255).
Tidak seorang pun boleh ikut campur tangan dalam hubungan ini, apakah ia khalifah, imam, atau Paus, berdasarkan pemahaman Kristen bagi oknum ketiga, yaitu "perantara." Dengan kata lain, semenjak abad ketujuh Masehi, umat Islam yang beriman telah terbebas dari ritus pengorbanan dan senantiasa dalam hubungan langsung,dengan Allah.
Ini adalah hubungan yang jauh lebih cocok bagi manusia modern dan manusia yang tercerahkan.
Penutup Nabi-Nabi
(Bonn, 27 Agustus 1980)
Perkembangan kematangan berpikir manusia akan mencapai pemahaman tentang Allah Yang Esa, dalam keyakinan politeisme susunan tuhan-tuhan akan terbentuk seperti jenjang piramida. Dengan meletakkan tuhan suku yang terkuat di jenjang teratas. Pemikiran ini nantinya akan berkembang dengan mengakui adanya derajat yang tertinggi dari sekalian tuhan-tuhan.
Hal itu yang membuat umat Yahudi mampu sampai ke teologi monoteisme, karena keyakinan mereka bahwa Yahweh adalah tuhan suku mereka.
Yesus telah mengoreksi pemahaman yang salah ini. Meskipun risalah "anak tuhan" ini diselewengkan, ketika pengikutnya menafsirkan hubungannya dengan Allah secara literal.
Oleh karena itu, harus ada nabi lain untuk memberikan berita tentang wujud Allah Yang Maha Esa, untuk sekalian manusia. Inilah prestasi akhir Islam yang gemilang dalam perkembangan rohani manusia. Memang, tidak ada lagi tempat untuk menambah-nambahkan kesempurnaan dan hakikat. Sehingga betullah Muhammad saw adalah "penutup nabi-nabi seluruhnya."
Islam Sekehendak Hati?
(Bonn, 2 September 1980)
Hingga orang yang sebelumnya menganut mazhab "agnostisisme" dan menyokong Ludwig Wittgenstein, terperosok menggunakan metode selektif dalam melihat Islam. Sebagian orang berusaha memisahkan kandungan Al-Qur'an, antara teks-teks yang berkaitan dengan ushuludin/pokok agama --yang harus valid sepanjang masa--dan norma-norma perilaku kehidupan sehari-hari yang dipengaruhi zaman. Mereka mengatakan dengan keliru bahwa orang hendaklah bersikap rasional dan tidak berlebihan, sehingga melupakan segi-segi yang telah usang dalam Al-Qur'an dan tidak layak lagi.
Bagaimana dengan shalat lima kali dalam sehari? Puasa selama sebulan? Larangan minum alkohol dan tidak mengambil bunga bank? Menurut mereka itu semua boleh-boleh saja, namun sudah tidak cocok lagi bagi masyarakat teknologi modern.
Sikap yang salah ini menunjukkan bahwa manusia telah mulai memilah-milah Al-Qur'an dan memilih sekehendak hatinya, mana yang ingin ia serahkan kepada kehendak Allah.
Orang-orang yang mendapat petunjuk Islam akan tampak menikmati perasaan mendapat petunjuk menuju jalan lurus, tenang, dan nyaman. Oleh karena itu, diri mereka tampak seirama dengan lingkungan mereka.
Selanjutnya, bagaimana orang dapat merasakan kenikmatan yang diberikan Islam, jika orang tersebut tidak menyerahkan dirinya kepada Allah secara total?
Aku Harus Masuk Islam
(Bonn, 11 September 1980)
Semenjak beberapa lama sampai kini, aku berusaha membuat artikel yang metodologis agar lebih fair dan ringkas, yaitu mengenai semua hakikat filsafat yang menurut pandanganku diyakini tanpa skeptisisme logis sedikit pun. Hasil usaha kerasku ini akan aku jadikan hadiah yang tidak biasanya bagi ulang tahun anakku Alexander. [1]
Selama melakukan usaha penulisan tersebut, aku menemukan bahwa sikap pemikiran penganut agnostisisme, membutuhkan intelektualitas. Manusia tidak bisa dengan sederhana lari dari keimanan. Segala hal di seputar kita jelas diciptakan. Dan tidak diragukan lagi bahwa ada perpaduan terbesar yang dapat dilakukan antara Islam dan hakikat holistis.
Itulah yang aku ketahui. Aku telah digetarkan oleh kebenaran. Tanpa sadar aku terus melangkah mengikuti perasaan dan pemikiranku.
Tinggal satu langkah lagi, yaitu mengumumkan keislamanku secara resmi.
[1] Buku tersebut telah dicetak dalam 16 halaman saja, yaitu berjudul "Metoda Filsafat Menuju Islam", dalam bahasa Jerman tahun 1981 dan 1983, dan dalam bahasa Inggri tahun 1983, (pent.)
Laa Ilaaha Illa Allah, Muhammadur-Rasulullah
(Bonn, 25 September 1980)
Aku mengucapkan dua kalimat syahadat di Islamic Center Colonia, "Tidak ada Tuhan kecuali Allah, Muhammad adalah Pesuruh Allah." Aku memilih satu nama di antara sekian nama Islam bagi diriku, yaitu Murad Fred.
Sejak hari ini aku telah menjadi seorang muslim. Berarti aku telah mencapai muradh-tujuanku.
Mengapa Tidak Ada Caturnitas?
(Bonn, 26 September 1980)
Jika orang, dapat membayangkan adanya Trinitas, mengapa tidak membayangkan adanya caturnitas tuhan? Jika teori "kelahiran yang pertama", atau teori "emanasi" dalam penciptaan dunia mempunyai tabiat yang sama dengan teori kausa-prima, mengapa tidak "emanasi kedua" tidak ikut campur dalam tabiat ini?
Apakah pemikiran Trinitas yang disucikan dapat berkembang jika para pendeta gereja mengetahui filosof yang datang setelah masa Plato, seperti Plotinus dan Brukless yang membedakan dalam bukunya Liber de Causis antara "wujud" (bapak?), "sebab" (roh kudus?) dan "roh" (anak?) bahwa caturnitas "emanasi" persis sama dengan rohani "Gnosticism", dan ia adalah kepercayaan Kristiani.
Darwisy Konya yang Berputar
(Bonn, 9 Oktober 1980)
Di Aula Bethoven di Bonn, diselenggarakan pertunjukan "Darwisy Konya yang Berputar", sehingga mereka tampak seperti kelompok tari panggung. Oleh karena itu, banyak penonton menduga akan menyaksikan putaran pembukaan, jika bukan kegaduhan, seperti yang dilakukan para penari pada pesta-pesta Dyonisius Yunani, bukannya pertunjukan rohani yang mendalam yang mereka saksikan ini. Para penari mereka adalah orang-orang modern, teratur, tekun ibadah, dan telah berkeluarga menyajikan syair agama klasik dengan iringan musik dari Turki. Pertunjukan tersebut dimulai dengan nyanyian pujian Parsi karangan Jalaludin ar-Rumi, dibawakan oleh syeikh (penyanyi yang hafal) dan buta, yang mengaku sebagai Kani Karaka, dengan suara menggetarkan, lemah, dalam, dan merajuk.
Para darwisy, kemudian masuk ke panggung pertunjukan dengan asesoris selendang mereka yang penuh dengan lambang-lambang. Peci mereka yang berbentuk menjulang menampakkan situasi kubur, jubah hitam mereka mengisyaratkan kegelapan kubur, dan yang mereka pakai di bawahnya: baju dan celana putih mengisyaratkan putih kain kafan.
Pertama kali, para darwisy memutari panggung, sebanyak tiga kali dengan langkah tidak teratur, dan berat. Setiap kali mendekati syeikh mereka di tempatnya, mereka akan berputar dan membungkuk satu sama lain. Bungkuk mereka makin menurun ketika mereka mencium tangan syeikh mereka yang membungkuk sedikit untuk mencium peci mereka.
Kali itu saja mereka berputar. Kemudian, mereka menjalin lengan-lengan mereka dengan bentuk silang dan meletakkan tangan-tangan mereka di pundak-pundak mereka pada awalnya. Kemudian, dengan cepat mereka memisahkan lengan-lengan mereka, sambil mengangkat telapak tangan kanan mereka menuju langit dan menurunkan telapak tangan kiri mereka ke arah bumi --untuk menunjukkan bahwa segala sesuatu adalah dari Allah, dan semua yang diterima para darwisy ia berikan kepada rekannya dengan senang hati. Kemudian, para darwisy mulai berputar dengan gaya yang sama, tenang, menyenangkan, di tempat mereka atau ketika mereka bergerak.
Bagi kritikus balet, dapat menilai bahwa gerakan mereka adalah gerakan ke kiri menuju bagian dalam, dan berlangsung dalam empat hitungan. Perubahan langkah mereka selesai pada hitungan keempat di atas kaki kanan.
Para darwisy tersebut terus bergerak dalam situasi seperti itu selama antara 20 sampai 25 menit dengan bentuk yang menakjubkan, tanpa meneteskan keringat, kelelahan, atau mengacaukan nafas mereka. Kadang-kadang, para sufi itu dijuluki sebagai matras putih, terkadang juga planet-planet yang berputar sekitar pusat rohani.
Tidak aneh, siapa yang dapat melihat mereka tanpa tertawan dengan putaran mereka yang tenang dalam gelombang-gelombang teratur? Orang, dengan cara fisikal yang tinggi itu, dapat mencapai intuisi agama dengan nama Islam.
Syeikh mereka yang tua, bernama Salman Tauzan --disebabkan kedudukannya yang tinggi--tampak tampil berbeda dalam panggung. Langkah-langkahnya tegap dan lambat seperti masih muda. Ia mempunyai pengaruh besar pada para pengunjung. Peneliti mengatakan bahwa ini bukanlah pertunjukan penari tua yang tidak mau mengundurkan diri.
Yang kami saksikan adalah salah satu segi kebintangan (karisma) yang tidak mengenal ketuaan dan timbul dari kezuhudan.
Daya Tahan Islam
(Bonn, 26 Februari 1981)
Ketika umat Islam mengkomparasikan antara bahaya yang diciptakan oleh dunia ateis dan bahaya yang diciptakan oleh dunia Barat terhadap mereka, banyak dari mereka lebih takut terhadap dekonstruksi rohani Barat daripada mereka digencet oleh ateisme secara materiil. Ini dapat dilihat dari kegagalan usaha propaganda ateis Uni Soviet di negara-negara Islam Uni Soviet di Asia, atau kegagalan tank-tank Uni Soviet di Afghanistan, untuk mencabut akar Islam hingga saat ini.
Ditangkapnya syekh-syekh dan para pernuka agama, melarang pelaksanaan ritus-ritus agama, dan menyita kitab-kitab suci, tidak akan banyak menyulitkan Islam. Ada ribuan penghafal Soviet yang sudah menghafal Al-Qur'an di luar kepala.
Umat Islam dapat shalat sendiri jika situasi menuntut itu, dengan menggunakan alas apa pun yang suci dan di mana saja. Inilah mungkin letak rahasia kekuatan Islam sehingga mampu bertahan selama masa yang panjang di bawah kekuasaan pemerintah diktator. Itu pula yang dapat menafsirkan hakikat mencengangkan masih adanya jutaan umat Islam di Cina yang tetap teguh menganut Islam, selama masa kekuasaan Mao Ze Dong dan terjadinya revolusi kebudayaan. Dan, itu pula yang dapat menafsirkan tetap adanya beberapa ratus keluarga muslim Spanyol dengan keislaman mereka, tidak saja setelah hilangnya Andalus, namun juga pada masa kekuasaan Fransisco Franco.
Sayangnya, Islam tidak dapat setahan itu dalam menghadapi proyek kristenisasi yang tidak begitu santer dan bermetode. Artinya, borok busuk yang didapatkan dari kekuatannya bukan karena usaha umat Kristen semata, namnun dengan pengaruh konspirasi dan penjaja peradaban teknologi Barat.
Oleh karena masyarakat industri Barat mempunyai efek meracuni terhadap semua agama, termasuk agama mereka sendiri. Dengan menyebarkan nilai-nilai yang dibangun atas hipotesis-hipotesis materialis an-sich. Pemikiran memanfaatkan dan meraih keuntungan sebanyak-banyaknya, ibadah menambah produksi secara terus-menerus, mitos-mitos kemajuan tanpa batas, antagonisme ahli-ahli ilmu alam yang berubah menjadi filosof-filosof. Kemudian, berkembangnya filsafat "agnostisisme" dan netralisasi nilai-nilai etika bagi para pelajar, semua itu secara total membentuk kecenderungan ala Barat, yaitu menyematkan karakter rasional terhadap semua fenomena hidup yang membentuk permusuhan sengit terhadap agama-agama.
Masyarakat teknokratis, tempatku hidup di Barat, dengan penyembahan individual dan etika yang berprinsip "biarkan dia berbuat dan biarkan ia berlalu". Sebenarnya menciptakan dekonstruksi total terhadap pokok-pokok etika tempat masyarakat tersebut tumbuh. Atau, nilai-nilai dan perilaku hidup yang tercerabut dari keimanan kakek-kakek kita terhadap Allah.
Turki dapat dijadikan contoh jelas proses ini. Dilihat dari usahanya menelanjangkan diri dari ciri-ciri keislamannya. Karena, Attaturk melihat agama rakyatnya sebagai sandungan modernisasi, disebabkan kecenderungan kembalinya keterbelakangan yang katanya diajarkan Islam. Islam telah benar-benar dikubur di beberapa kota Turki pada masa penyembahan kemajuan, kesenangan, dan solusi ilmiah terhadap semua problema itu, setidak-tidaknya tampak pada kaum terpelajar dari dua golongan elit dan menengah di daerah-daerah modern, karena mereka tampak lebih menyembah ilmu pengetahuan dibandingkan menyembah Pencipta mereka.
Sementara itu, sebagian hasil pencerahan Turki sekuler ini adalah mereka senang mengulang-ulang pernyataan, "Benar, saya tidak melaksanakan ajaran-ajaran Islam, namun saya beriman kepada Allah dari lubuk hati yang paling dalam. Iman alami saya ini lebih baik dari shalat lima kali sehari." Kata-kata itu --dengan embel-embel lain--sering terdengar dari sebagian orang-orang Islam, yang pengetahuannya amat kurang terhadap agama bapak-bapak mereka. Itu sebatas sisi-sisi aneh dan parsial yang dituturkan kepada mereka oleh kakek-kakek mereka.
Jika Attaturk tidak menguburkan pengajaran agama, dapat diduga bahwa para kaum terpelajar Turki akan mengetahui dengan lebih baik. Ia --hingga aliran sufignostis Islam--hanya menyangka bahwa agama adalah masalah hati saja.
Dapat diduga bahwa umat Islam "modernis" itu akan mengakui bahwa Islam tunduk kepada Allah, berarti secara implisit mengikuti cara, ajaran, dan hukum-hukumnya.
Dengan latar berbelakang ini, amat ironis sekali jika Kementerian Urusan Agama Turki, saat ini melakukan usaha membendung pengaruh-pengaruh negatif ketidaktahuan terhadap Islam dalam periode yang panjang, yang dengan jelas merintangi usaha negara untuk menegaskan kepribadiannya pada zaman modern.
Beberapa imam dan guru yang dididik oleh negara dan diberikan gaji telah dikirim ke luar negeri sampai ke Jerman. Mereka menanggung beban berat, yaitu menguasai jaringan luas tidak resmi sekolah-sekolah agama, masjid-masjid, dan kelompok-kelompok sufi yang berkembang di kalangan pekerja Turki, sebagai reaksi terhadap politik Attaturk dalam menerapkan sekularisme.
Undang-Undang Internasional Islam
(Bonn, 12 Maret 1981)
Istilah undang-undang internasional mengandung adanya pengakuan dunia terhadap undang-undang itu. Sementara, aktivitas undang-undang bangsa-bangsa selalu ditentukan oleh sejauh mana penghormatan dan pelaksanaannya pada tataran negara.
Pada masa modern ini, kita harus mengetahui sekali lagi kemungkinan adanya undang-undang internasional khusus bagi suatu regional, meskipun hal ini tampak kontradiksi.
Secara faktual, fenomena regional dalam undang-undang bangsa-bangsa tidak terbatas hanya pada Amerika Latin dan dunia komunis, yang dikuasai oleh pemikiran bangsa-bangsa proletar yang pesimis dengan dikeluarkannya apa yang mereka namakan dengan prinsip Brezhnev. Sementara dunia Islam, hingga akhir perang dingin tidak turut serta merancang undang-undang internasional bersama negara-negara Kristen.
Dari segi prinsip, kondisi itu tidak mungkin lagi dibiarkan. Karena syariat Islam tidak mengakui pemikiran undang-undang konvensional dan kemungkinan mengadakan perjanjian damai antara negara-negara Islam dan bukan Islam.
Sebaliknya, Undang-Undang Islam, bukannya turut memperkaya pemikiran romantis adanya "keluarga bangsa-bangsa", malah dengan amat tegas membedakan antara kelompok umat Islam (darul-islam) dan non muslim yang berada di luar kelompok umat Islam (darul-Harb).
Patut diingatkan bahwa teori undang-undang Islam menganggap bahwa seluruh umat Islam disatukan oleh satu kesatuan (ummah). Oleh karena itu, ia menolak pemikiran banyak negara. Sebagai implikasi dari hal itu, Undang-undang Islam (syariat), hingga saat ini masih menolak birokrasi hubungan antar masyarakat Islam seperti hubungan biasa dengan negara-negara.
Seperti yang dijelaskan oleh Hans Crose --dalam bukunya, yaitu "Islamiche Volkerrechtslehre" (second edition)--meskipun seperti itu, undang-undang Islam dapat mengikuti fakta-fakta konflik internasional yang keras.
Pertama, para pakar Islam --seperti teman-teman mereka di Barat--mengajarkan wajibnya menghormati.transaksi-transaksi dan perjanjian-perjanjian tanpa memperhatikan agama pihak kedua. Tidak ada perbedaan praktis jika para ahli hukum Islam mendasarkan sakralitas perjanjian-perjanjian ini pada perintah Tuhan dalam Al-Qur'an, bukannya pada kaidah-kaidah undang-undang internasional konvensional atau tradisional. Yang terpenting, umat Islam dalam melaksanakan undang-undang dalam negeri mereka, harus juga menjaga perjanjian-perjanjian internasional --yang dihormati oleh non-muslim sebagai pelaksanaan mereka terhadap undang-undang intenasioanal.
Kedua, para ahli hukum Islam berhasil menciptakan solusi hukum yang cerdas, yang membuat mereka mampu, dengan perangkat itu, menyelaraskan antara fakta-fakta keras dan teori undang-undang yang berlevel tinggi. Dengan demikian, mereka dapat melegitimasi apa yang tidak diperkenankan dalam mengadakan hubungan damai permanen antara negara-negara Islam dan non-Islam, atas dasar perjanjian damai yang secara implisit diperbolehkan.
Kesalahan Fatal Perancang Mode
(Istambul, awal Agustus 1981)
Hari ini adalah Idul Fitri, hari raya terbesar dalam Islam. Secara kebetulan, aku berkesempatan melihat tiga wajah berbeda agama Islam.
Pada pagi hari, aku ikut melaksanakan shalat-shalat yang panjang yang memisahkan antara akhir puasa Ramadhan dan acara "Hari Raya manis-manisan dan kue-kue", yang berlangsung selama tiga hari.
Masjid di Tsiviky tampak penuh sesak dengan manusia. Banyak dari mereka membawa sajadah sendiri untuk shalat. Namun, seperti mayoritas yang lain, aku melaksanakan shalat di halaman depan masjid, di atas selembar kertas koran pagi.
Pada waktu siang, kami mengunjungi Masjid Sultan Ayyub yang terletak di dataran tinggi daerah Tanduk Emas. Semenjak bangunan itu didirikan di atas kuburan Ayyub "pembawa bendera Muhammad", yang ditemukan secara mengejutkan pada saat pengepungan Turki pada tahun 1453. Mitos-mitos dan legenda memenuhi masjid ini, di samping letaknya yang memikat.
Tempat ini termasuk tempat yang paling dekat ke tempat perziarahan umat Kristen. Apalagi yang dapat aku katakan mengenai tradisi minum dari empat keran yang terletak di empat pojok pagar yang melingkari sebuah pohon di dekat masjid, setelah semua keran pertama kali dibuka semua kemudian ditutup satu per satu?
Para pecinta, orangtua, pelajar, tentara, dan semua orang yang mempunyai hajat, memberikan makan 1001 burung dengan satu kilogram jagung, sambil menyimpan beberapa biji untuk ditanam setelah cita-citanya terkabul.
Dari pasar yang dekat, para pelancong lain berdatangan membawa hewan-hewan untuk dikurbankan. Diserahkan kepada fakir miskin yang berdiam di samping Masjid Sultan Ayyub. Tentunya, gerombolan manusia di Masjid Sultan Ayyub menampakkan ciri khas masing-masing. Anak-anak memakai pakaian jenderal, admiral, dan raja-raja, bersiap-siap untuk dikhitan pada hari berikutnya --acara seperti ini dilakukan bagi anak laki-laki, begitu juga bagi anak-anak wanita ketika akan menikah.
Yang jelas, kaum Wahabi akan memberikan kata putus yang tegas atas fenomena-fenomena folklor dan khurafat masyarakat Islam ini. Sehingga mereka tidak membolehkan kegaduhan apa pun, atau kegiatan investasi dekat Masjid Nabawi untuk menjaga kelayakan, meskipun hal itu merugikan warna tempat dan hiburan rakyat.
Pada sore hari, aku menghadiri pameran pakaian. Pada pameran tersebut, aku melihat pakaian terbuat dari kain sutra hitam. Pakaian itu adalah pakaian yang paling menarik, namun sebenarnya ada "kesalahan fatal" di sana, yaitu hiasan peraknya tersusun dari ayat-ayat Al-Qur'an ditulis dalam bahasa Arab dengan cara Barat. Keindahan bordir baju tersebut mendapatkan tepuk tangan hangat dari penonton. Mereka akan takut seandainya dapat memahami tulisan Arab itu. Dalam satu generasi pasca-Attaturk, tulisan Arab, seperti huruf Cina, telah menjadi asing bagi manusia yang terbiasa membaca dan menulis dengan bahasa Arab.
Inikah yang dimaksud dengan kemajuan?
Ibnu Khaldun adalah Bukan Karl Marx
(Bonn, 28 April 1982)
Bagi orang yang masih berpendapat bahwa tabiat Islam adalah memerangi dan menghalangi kemajuan. Sebaiknya, Anda membaca buku al-'Ibbar pada bagian mukadimah atau pendahuluan karya pengarang terkenal, yaitu dalam sejarah dunia --Ibnu Khaldun, yang ditulis pada tahun 1377--telah diterjemahkan ke dalam bahasa Inggris oleh Franz Rosenthal, Princeton 1967. Seandainya Ibnu Khaldun, seorang qadhi agung dari Cairo, menulis mukadimah ini saja, yang terdiri atas 400 halaman, niscaya itu sudah cukup untuk mengabadikan namanya dalam sejarah pemikiran. Dengan demikian, Ibnu Khaldun sebelum Karl Marx dan Marx Weber --sejak 500 tahun lalu--telah menjadi Bapak Ilmu-ilmu Sosial dan Filsafat Sejarah. Yang menuntut agar sejarah hendaknya lebih dari sekadar menuntut informasi-informasi.
Usahanya tersebut adalah pertama kalinya diketahui dalam mengungkap undang-undang yang mengatur pergantian sejarah, naik dan turunnya peradaban. Dan, penulisan sejarah setelah menundukkan materi-materi yang didapatnya dari sumber-sumber tradisional di bawah analisis yang cermat, sambil mengkritiknya jika perlu. Metodologi Ibnu Khaldun ini dapat mengamati interaksi terus-menerus antara situasi dan perilaku, serta antara ciri khas peradaban (umran) dan ciri-ciri budaya.
Ibnu Khaldun --bukan Karl Marx--menulis (pada tahun 1377) bahwa "keuntungan adalah nilai yang dihasilkan oleh kerja manusia, dan bahwa perbedaan kondisi manusia adalah akibat perbedaan sarana-sarana yang dipergunakannya untuk mencari penghidupannya."
Lama sebelum buku karangan Thomas Manbez yaitu: "Buddenbrooks" terbit, Ibnu Khaldun telah mengatakan, "Akhir kekayaan pada satu keturunan adalah empat bapak."
Beberapa abad sebelum Freidrich Nietsczhe, ia telah mendeklarasiban bahwa jika suatu bangsa ganas, maka kerajaannya akan lebih luas.
Dan Ibnu Khaldun telah mendahului Freidrich Hegel dalam kesimpulannya, "Bahwa negara-negara mempunyai usia alami sebagaimana manusia."
Juga mendahului JJ. Rousseau dalam pernyataannya disebutkan bahwa hubungan antara penguasa dan yang dikuasai berdiri di atas kontrak sosial --dilakukan dengan bersalaman dan janji untuk loyal.
Lama sebelum teori modern hukum (dan berbeda dengan pendapat kelompok Syi'ah), ia telah menyimpulkan, "Yang dapat mengentaskan problema-problema umat (seperti khalifah) ia pula yang dapat mengembangkan kepemimpinannya terhadap mereka." Juga mendahului David Humme ketika ia menegaskan bahwa metode yang digunakan sebab-sebab atas hal-hal yang disebabkannya masih absurd.
Beberapa abad sebelum Karl Von Klaus, Ibnu Khaldun telah mengajarkan bahwa "tidak ada kemenangan yang pasti dalam peperangan", hal itu karena "kemenangan dan kekalahan didapatkan melalui nasib dan perjanjian".
Dan ia --seperti Freidrich Schiller dan Emmanuel Kant--mengembalikan hukum-hukum estetika terhadap hal-hal yang terlihat, kepada penilaian falsafah, tanpa melupakan interaksi teknis psikologis --di antaranya adalah bahwa manusia hanya dapat menggambarkan bentuk manusiawi, kecuali dengan utuh hingga batas kesempurnaan.
Metodologi Ibnu Khaldun dalam ilmu wujud dan tasawuf, dalam bentuk tertentu, amat aku setujui. Ia, sebagai murid cerdas al-Asy'ari, mengingkari kemungkinan apa pun, meskipun terjadi, adanya teofani metafisika apa pun yang dihasilkan dari intuisi manusia dan rasionya. Ia berkata, "Akal sebenarnya adalah mizan yang benar. Namun, sebaiknya akal tidak digunakan untuk mengukur sebagian masalah-masalah seperti keesaan Allah, alam lain, kebenaran nabi-nabi, dan sifat hakiki ketuhanan. Hal itu seperti seorang yang ingin menimbang gunung dengan timbangan emas."
Apakah manusia bisa mengatakan yang lebih baik dari itu?
Dalam kajiannya tentang tasawuf, Ibnu Khaldun mengungkapkan skeptisismenya bahwa kaum Sufi, sebelum matinya, dapat atau dengan cara tertentu, mengabarkan apa yang akan terjadi pada mereka setelah mati. Penilaiannya dalam masalah ini, dengan tegas ia katakan, "Pengetahuan dan kegiatan apa pun yang mengungguli kemampuan manusia tidak didapatkan oleh kaum Sufi, kecuali dengan cara tak terduga."
Ibnu Khaldun mengatakan di antara pengikut tasawuf ada bahwa, "Orang-orang bodoh dan tolol lebih dekat kepada orang gila daripada orang berakal." Ia mengungkapkan keyakinannya, "Semua cara untuk menggapai apa yang berada di atas kemampuan manusia tidak mempunyai dalil dan tidak patut."
Pendapatnya tersebut keras, namun benar, Namun, kita hendaknya tidak melupakan bahwa Ibnu Khaldun bukanlah seorang pionir yang cemerlang, juga bukan orang yang telah sesat, namun ia adalah hasil dari peradaban Islam yang pada bentuknya paling cemerlang.
Konsili Nicaea I
(Iznik, 21 Juli 1982)
Semua orang yang meyakini hasil-hasil yang timbul dari keputusan-keputusan sejarah, muslim, atau Kristen, tidak akan mampu terbebas dari tekanan perasaan emosional yang dirasakannya ketika mengunjungi kota Iznik --dulunya Nicaea--yang terkenal tidak jauh dari Istambul.
Karena tidak lama setelah kaum Salib menyerang kota Konstantine Kristen (tahun 1204 M), kota tersebut menjadi pangkalan agresor. Dan, tidak lama kemudian menjadi ibu kota kerajaan Romawi, di luar wilayah negaranya. Di tempat itu juga ditentukan masa depan agama manusia dengan bentuk final, pada tahun 325 M.
Hingga saat ini, orang masih bisa menentukan tempat berkumpulnya sekelompok besar uskup untuk menghadiri Muktamar Nicaea Masconi I --19 Juni sampai 25 Agustus 325 M--yang menetapkan aliran Nicaea asli dengan bentuk pasti. Yaitu, mazhab yang berpendapat telah bersatunya Tuhan (Bapak) dengan Almasih secara alamiah.
Meskipun demikian, aliran oposisi, yang dipimpin oleh Pendeta Alexandria Bapak Arios (260-336 M), masih menjadi aliran resmi negara, pada masa berkuasanya Constantine yang agung (337-361 M). Sebenarnya, aliran ini terus dipeluk dengan kuat, terutama oleh suku Jermaniyah, hingga masa setelah aliran Arios dianut kedua kalinya pada tahun 381 M. Ia adalah mazhab yang mengatakan bahwa meskipun ada tiupan Tuhan dalam penciptaan Almasih, namun ia tetap bukan sekutu, dan tidak kekal seperti Bapak. Kejadian dramatis ini telah hilang dari kesadaran umat Kristen Barat seperti hilangnya ajaran-ajaran Pendeta Nestorian Petrick Constantine (381-451 M), yang mengatakan bahwa Tuhan dan Almasih, keduanya hidup terpisah dalam satu diri, setelah dilarang oleh konsili Aphysus pada tahun 431 M.
Sebenarnya --sepanjang masa lima ratus tahun pertama sejarah Kristen--orang bisa menjadi umat Kristen yang utuh tanpa harus terpaksa beriman terhadap aliran bersatunya Almasih dengan tuhan. Menurut kaca mata Islam, umat Kristen Arios dan Nestorian bisa dianggap sebagai umat Islam, tidak kurang.
Sebenarnya, kalaulah beberapa uskup dari 125 orang bersatu menentang pemikiran ekstrem yang mengatakan persatuan Almasih dan tuhan --pada tahun 325 M--niscaya sikap mereka akan mampu melenyapkan perbedaan teologi substansial antara Yahudi, Kristen, dan Islam.
Orang hanya bisa terkejut, ketika menyadari bagaimana beberapa orang uskup di Nicaea telah menanggung tanggung jawab besar dalam perjalanan manusia
Gereja Bukan Masjid
(Burso, 22 Juli, 1982)
Di Burso, Ibu Kota Kerajaan Utsmaniyah yang antik, orang bisa bermain ski di Gunung Olodag, juga bisa bersuka-ria berenang di Laut Marmarah. Namun, Masjid Ulu Kami (masjid agung), yang terletak tepat di jantung kota, adalah salah satu keistimewaannya yang paling termasyhur, karena dinding-dindingnya bagian dalam laksana museum kaligrafi Arab. Hal itu setelah bangsa Turki memberikan suatu sentuhan pada modelnya hingga mencapai kesempurnaan.
Tidak kurang dari itu adalah air mancur yang terletak di tengah masjid. Di sana para penduduk kota terkadang mengadakan pertemuannya. Di sana pula para turis dapat beristirahat setelah melaksanakan dua rakaat shalat tahiyat masjid. Para pelajar dengan lembut dan mendayu membaca Al-Qur'an dan para pelancong lain terlihat sedang mengambil air wudhu.
Di samping mihrab, terlihat beberapa orang Islam sedang hanyut dalam renungan mereka, dan tenggelam dalam munajat kepada Allah SWT. Tidak jauh dari mereka terlihat beberapa orang sedang tidur pulas pada siang hari, sambil menunggu waktu shalat asar.
Pemandangan seperti ini mungkin akan mengejutkan turis Barat yang terbiasa menyaksikan gereja hanya dipergunakan untuk ibadah saja --kemudian pintunya ditutup setelah itu. Mereka juga tidak tahu bahwa di dalam masjid tidak ada tempat sembelihan atau kuil yang di kelilingi orang-orang suci. Ia tidak lebih dari tempat orang-orang berkumpul melaksanakan shalat.
Selama manusia menyadari hal itu, ia akan segera mengetahui fungsi lengkap yang dimainkan masjid, sebagai pusat sosial-politik. Pada banyak kesempatan, sering terlihat dapur umum di sana. Juga perpustakaan, kamar mandi, sekolah, dan kuburan.
Yang Amat Aneh
(Bonn, 19 September 1982)
Aku disambut oleh menteri konsultan di Kedutaan Arab Saudi, ketika aku sedang mengurus administrasi untuk mendapatkan visa haji. Tidak sebagaimana lazimnya para diplomat asing pada masa sekarang, ia tidak menanyakan padaku sedikit pun tentang keputusan NATO dalam meletakkan rudal-rudal nuklir jarak menengah di Eropa. Sebaliknya, ia mencurahkan semua perhatiannya pada masalah lain yang berbeda sekali, yaitu berkaitan tentang peran Almasih dan Muhammad saw. Dan hubungan antara keduanya, sebelum dan setelah hari kiamat. Tuan rumahku tahu semua hal yang berkaitan dengan masalah yang patut direnungkan ini dari hadits Nabi.
Keherananku yang terbesar dalam hal ini adalah pada abad 20 ini, ada negara yang diplomatnya memberi prioritas pada masalah-masalah agama daripada masalah-masalah politik. Ini amat aneh.
Masyarakat Alkohol, Nikotin, dan Daging Babi
(Pesawat Lufthansa, Penerbangan No.624, Desember 1982)
Ketika pesawat kami, Lufthansa, mendekati Jedah dari Frankfurt, mayoritas penumpangnya orang-orang Jerman. Mereka adalah para wanita dan anak-anak yang membawa pohon-pohon Natal di kabin, berteriak meminta dan menenggak whisky semampu mereka, sebelum pesawat mendarat. Karena inilah kesempatan terakhir mereka. Jika roda pesawat telah menyentuh landasan bandara udara, mereka akan memulai kehidupan yang menjengkelkan tanpa alkohol, bersama suami atau bapak mereka, di pusat-pusat pembangunan.
Fenomena ini amat memilukan. Kami --bangsa Barat--hidup dalam lingkungan bunuh diri dengan alkohol. Dengan bahasa lain, dalam masyarakat alkohol, nikotin, dan daging babi. Pemandangan itu membuatku berkhayal, seandainya pesawat yang aku naiki ini tidak menyediakan minuman. Berapa banyak bencana yang dapat dihindari seperti kecelakaan mobil, perceraian,dan pengerutan lever --jika orang mau menaati hukum Al-Qur'an yang mengharamkan alkohol; setidaknya aku tidak akan kehilangan gigiku pada peristiwa tabrakan, tahun 1951.
Ketika aku telah berpengalaman mencicipi bermacam-macam jenis minuman keras, sehingga aku mampu membedakan jenis-jenis anggur matang Green Cry tanpa kesalahan sedikit pun, hanya dengan ujung lidah. Anggur itu adalah anggur merah yang paling mewah. Dibuat di Coth Door Burgundi, Shampartan, Musini, Clo Fozo, Rumani, Isyuzu, dan Corton yang kebun anggurnya memanjang dari Bonn ke Diegon.
Bahkan, hingga pada masa awal masuk Islam, aku masih kesulitan tidur apabila tanpa meneguk satu sloki anggur merah di waktu sore. Namun kini, aku dapat tidur lebih baik dari sebelumnya, karena perangkat aliran darah dan hati dalam tubuhku akan beristirahat melakukan tugasnya ketika aku sedang tidur nyenyak.
Orang Barat tidak mempercayai ada kebahagian dan kesenangan dalam pesta tanpa suguhan alkohol. Sebaiknya, mereka menyaksikan pesta perkawinan orang Islam.
Mayoritas dari mereka mengetahui hasil-hasil negatif akibat kecanduan bangsa Barat terhadap alkohol, seperti melorotnya kesehatan secara umum, penurunan hasil kerja, bahaya keselamatan dalam pekerjaan, di jalan raya, dan menghabiskan hasil pemasukan. Namun, mereka butuh suatu tekad kuat untuk memerangi "candu bangsa" ini.
Nabi Muhammad saw. telah mengharamkan semua yang memabukkan dan membius, ketika nabi berada di Madinah, meskipun itu amat sulit karena kontradiktif dengan kecenderungan saat itu. Namun, umat Islam di Madinah, serentak dengan taat menumpahkan semua minuman keras mereka yang terbuat dari kurma, ke tanah. Itu menunjukkan bahwa apa yang sebelumnya dibenci akan menjadi sesuatu yang disenangi jika diperintahkan oleh pemimpin yang mempunyai karisma.
Haji ke Mekah
(Mekah, 29 Desember 1982)
Aku masuk ke Masjidil Haram dengan memakai pakaian ihram putih yang ringan, menuju Ka'bah yang berada di tengah ruang lapang yang luas. Ini adalah saat-saat yang sebelumnya tidak berani aku impikan.
Ketika orang melihat dengan mata kepalanya bentuk bangunan ini, yang biasa ia lihat di gambar-gambar dan film-film. Ia akan merasa terpesona sekali ketika menyaksikan langsung, bukan dalam khayalan. Di sini, suasananya berbeda sekali.
Tidak ada hiruk-pikuk pasar, juga tidak ada suasana magis yang sakral. Segala sesuatu tampak sederhana, penuh keagungan dan perasaan seni yang tinggi. Gelombang jemaah haji yang banyak tidak menyebabkan kerumunan atau sesak pada tempat tawaf. Sebaliknya, ada keteraturan yang apik ketika melaksanakan shalat jamaah, dalam kesenyapan, sehingga orang dapat menjaga kebebasan pribadinya. Ada puluhan ribu jemaah haji dan peziarah sedang melakukan tawaf dalam kesunyian. Hal itu amat menggetarkan nurani.
Aku merasakan sambutan dan perasaan amat aman di antara rekan-rekan jemaah haji. Di sana, aku mendapati makna ucapan "Assalamu'alaikum" yang berdenyut hidup.
Ketika kemuliaan terkristal, keindahan, iman, dan internasionalisme. Aku merasa seperti sebuah titik atom pada sebuah kesatuan kosmos yang besar, karena di Mekah semua perbedaan bangsa terlebur. Hanya ketika aku sedang ruku dalam shalat saja aku dapat melihat telapak-telapak kaki yang berlainan warna, semua bangsa, dan benua terwakili di sini.
Ka'bah adalah pelambang segala sesuatu tiga dimensi, dalam kesederhanaannya. Ini adalah sikap Islam yang terpuji untuk memenuhi kebutuhan pada pelambang terlihat atas Tuhan. Jika Allah SWT --menurut istilah Ibnu Sina--adalah puncak keserdehanaan, maka bentuk persegi empat dan kosong dari hiasan apa pun ini, adalah pelambang yang terbaik bagi Allah dari pelambang bangunan lain manapun.
Ka'bah sebagai titik tetap dan kiblat (arah semua orang shalat) mengisyaratkan pelabuhan pelambang agama internasional yang mengetahui dengan yakin bahwa Allah tidak di timur atau di barat, namun Dia melampaui ikatan-ikatan zaman dan tempat.
Dibandingkan dengan bangunan "rumah Allah" ini, semua Katedral yang dibangun dalam bentuk Quthi, dan semua gereja yang dibangun dengan model Paroki mengerdil menjadi perhiasan kecil dan hina.
Setelah aku tawaf tujuh putaran seputar Ka'bah, di bawah atap langit yang berhiasan bintang --adakah agama lain yang mencapai kesederhanaan seperti ini hingga pelaksanaan ibadahnya di tempat yang terbuka?--aku berhenti di Hajar Aswad, yang diletakkan di tempatnya oleh Muhammad saw. Di sana orang antre mencium dan menyentuhnya.
Tradisi ini bisa menimbulkan banyak risiko bagi Islam, bagi mereka yang tidak merenungkan sama sekali bahwa penciuman bekas telapak kaki Petrus yang tidak jelas oleh peziarah Kristen di Roma menyebabkan sesuatu yang berlebihan sehingga mereka menyembah sepotong benda keras.
Tidak ada seorang pun yang berprasangka seperti itu ketika melihat jemaah haji di Mekah --meskipun sebelumnya berkembang penyembahan patung yang terbuat dari batu di negeri-negeri Arab pada masa pra Islam. Meskipun pelambang-pelambang bisa dibebaskan dari pemikiran-pemikiran yang tersembunyi di belakangnya, namun itu tidak harus dilakukan. Karena setiap takbir, "Allahu Akbar" --sebagaimana diterjemahkan oleh Laurence Arab, "Allah-lah satu-satunya Yang Besar"--adalah petunjuk kuat yang menghapus prasangka menyembah Hajar Aswad yang sederhana.
Kembali ke Ibrahim
(Mekah, 20 Desember 1982)
Aku melaksanakan Sa'i --sejarahnya bermula pada zaman Nabi Ibrahim a.s. (Siti Hajar mencari air untuk anaknya, Ismail a.s.)--yaitu lari-lari kecil sebanyak tujuh kali antara dua bukit kembar Shafa dan Marwah, yang terletak di samping Masjidil Haram dan menjadi bagian masjid tersebut dengan bantuan muthawif Saudi. Ia mungkin kesulitan memperdengarkan kepadaku ketika aku berusaha melafalkan doa-doa bahasa Arab dengan dialekku yang menakutkan ini.
Ketika aku telah menyelesaikan manasik umrah, seorang anak membantuku memotong sejumput rambutku sebagai pokok kembalinya aku melaksanakan kehidupan biasa (tahallul dari ihram). Dengan demikian, sekarang aku bisa mengganti pakaian ihram dengan pakaian biasa.
Pada hari selanjutnya, aku berharap bisa berada sendirian di Masjidil Haram ini, walaupun hanya sekali. Oleh karena itu, aku berusaha bangun pagi sekali, sekitar jam tiga pagi, dan sebelum azan yang pertama.
Namun keinginan itu tidak terjadi, karena ada ratusan muslim yang terus berdatangan siang-malam tanpa berhenti melakukan thawaf, atau antre menunggu kesempatan untuk menyentuh atau mencium Hajar Aswad untuk kesekian kali.
Orang-orang Islam itu, ketika melakukan hal tersebut, menguatkan kembali getaran hubungan pribadi mereka. Tidak hanya dengan jutaan orang umat Islam yang datang ke tempat ini, sebelum mereka (dan yang akan hadir di masa mendatang, insya Allah), namun semata karena Nabi Muhammad saw. Karena, ketika Ka'bah dibangun sekaligus diperbaiki kembali setelah diterjang banjir, Nabi Muhammad saw --sebagai penengah di antara suku yang bertikai--meletakkan tangannya di Hajar Aswad, sekarang posisi/tempatnya di pojok timur Ka'bah.
Kesadaran sejarah ini amat pantas bagi agama yang syiar-syiar hajinya berasal dari Nabi Ibrahim a.s. --dari masa sepanjang lebih dari 3800 tahun--dengan syarat bahwa pelaku ibadah haji tersebut mengetahui betul kandungan sejarah dan pelambangan ritus-ritus yang dilakukannya.
Gereja-gereja Kristen tidak dengan mudah mengakui ajaran-ajaran Yahudi dan Paganisme yang terkandung dalam ritus-ritus mereka, sedangkan Islam tidak merasa keberatan mengakui akar-akar lama ritus-ritusnya. Muhammad saw tidak mengaku bahwa beliau membawa agama baru, namun risalahnya adalah pembaruan dan penyempurnaan agama Allah yang satu, yaitu penyerahan dan penundukan, artinya Islam menyerahkan diri semenjak zaman azali.
Di Sisi Makam Nabi saw.
(Madinah, 23 Desember 1982)
Barangsiapa yang pernah menyaksikan perayaan Maulid Nabi saw.perayaannya amat bersemangat di malam hari, di masjid-masjid yang diterangi lampu, di dalam dan di luarnya, ditambah lagi dengan ritus-ritus yang menyerupai ritus kependetaan. Maka, ia akan menyaksikan dengan terhenyak tindakan para polisi agama Arab Saudi di Madinah, pada malam maulid itu yang terus mengontrol untuk memastikan tidak ada seorang pun yang melaksanakan shalat menghadap makam Nabi. Kewaspadaan mereka ditunjukkan dengan melarang orang shalat pada hari maulidnya dekat kuburnya, selain shalat-shalat sunnah.
Orang tidak perlu mengkritik perlakuan ini, jika ia mengetahui bahwa apa yang terjadi setelah wafatnya Almasih adalah dimulai dengan ketakjuban padanya diikuti dengan menuhankannya.
Islam berusaha menekan kecenderungan semacam ini, sebelum tersebar.
Kejadian Mengecewakan di Hotel
(Madinah, 24 Desember 1982)
Pada tahun ini, hari Jumat sore, adalah hari Natal yang bertepatan dengan peringatan Maulid Nabi Muhammad saw. Ketika aku masuk ruang makan di Hotel Sheraton, Madinah, untuk menikmati hidangan, seorang pelayan Pakistan menghampiriku dengan tersenyum dan mengucapkan dengan perkataan halus, "Selamat hari Natal." Jelas ia menyangka bahwa aku adalah pemeluk agama Kristen, karena hotel tersebut berada di luar wilayah Haram. Oleh karena itu, boleh saja bagi nonmuslim untuk mengunjunginya.
Ketika aku membalasnya dengan mengucapkan, ". Alhamdulillah, saya orang Islam," maka pelayan tersebut bersama temannya kaget dan tampak ketakutan.
Secepatnya direktur hotel mendatangiku dan memohon agar hidangan juga teh asli, dibayar oleh hotel, sebagai ganti ringan atas penghinaan yang aku terima.
Sebenarnya, orang Islam tidak dituntut untuk memuliakan Nabi Almasih, juga tidak diperintahkan untuk beriman dengan kebenaran turunnya Al-Kitab. Hal ini menunjukkan minimnya pengetahuan umat Islam kalangan bawah tentang Perjanjian Baru, seperti minimnya pengetahuan umat Katolik atas Perjanjian Lama.
Tenggelam dalam Shalat
(Madinah, 26 Desember 1982)
Kami terlambat beberapa menit untuk keluar dari masjid setelah shalat. Tampak ada sesuatu yang menghambat di pintu utama. Persis di tengah-tengah pintu, ada seorang muslim sedang tenggelam total dalam shalatnya. Mungkin dia datang terlambat sebelum rakaat terakhir, dan sekarang dia sedang menyempurnakan rakaatnya. Dia tampak tenggelam dalam shalatnya sampai-sampai melupakan semua yang ada di sekelilingnya.
Semua jemaah menjauhi daerah shalatnya, khawatir mengganggu kekhusyuan shalatnya. Tidak seorang pun yang mengkritik keterlambatannya yang menyebabkan pemandangan ini. Ini karena si muslim sedang menunaikan kewajiban agamanya. Tidak lebih dari itu.
Pemandangan semacam ini tidak mungkin terjadi ketika para penziarah Kristen menyesaki Gereja St. Petrus di Roma. Perbedaan ini disebabkan karena ritus-ritus keagamaan Kristen hanya mengenal misa suci yang dipimpin oleh seorang pendeta sebagai simbol agama resmi. Islam tidak mengenal hal semacam itu. Yang ada hanya satu kewajiban (shalat) yang mesti ditunaikan oleh semua umat Islam. Adapun kepemimpinan imam dalam shalat hanyalah untuk menunaikan tepat pada waktunya.
Shalat mendapat tempat dan kedudukan yang tinggi dalam Islam, sampai-sampai pasal-pasal tentang shalat memenuhi kitab-kitab fikih. Seperti, kitab monumental karya Muhyiddin Abu Zakariya al-Anshari, yaitu Minhaj ath-Thalibin, yang dirilis pada abad ke-13. Di antara kitab yang paling mengagumkan adalah al-Muwattha' karya Imam Malik bin Anas yang mengkhususkan 14 bab awalnya hanya untuk menerangkan syarat-syarat dan kaidah-kaidah shalat.
Sesuai dengan kaidah-kaidah ini, wajib bagi setiap muslim untuk menghormati penuh ketenangan orang yang sedang shalat. Juga tidak dibenarkan melanggar daerah shalat, baik yang tertentu atau tidak --selembar sajadah shalat atau hanya dengan meletakkan kaca mata di depannya--dalam kondisi apa pun.
Jika si muslim menguasai kaidah dasar shalat --seperti yang terjadi di setiap negeri. Islam--maka mudah saja baginya secara relatif tenggelam dalam shalat, baik di pompa bensin, di trotoar, atau di atas menara yang tinggi. Sungguh kekuatan "Harakah Islamiyah", yang seringkali dipandang
Refleksi Seputar Keselamatan Shalat
(Badar, 27 Desember 1982)
Dalam perjalanan pulang dari Madinah ke Jedah, kami berziarah ke Badar, suatu tempat di mana perjalanan Islam berlangsung pada tahun 642M, dalam suatu konflik bersenjata. Pimpinan rombongan sebentar-sebentar memperhatikan posisi matahari. Ketika matahari melewati ubun-ubun kepala dengan jelas --tidak ada alasan untuk takut menyembah matahari (shalat zuhur)--lalu kami berhenti memanggil semua penumpang untuk shalat zuhur berjamaah.
Ketika kami sudah berbaris satu shaf sepanjang jalan, orang India asal Afrika Selatan menasihatiku dengan sopan agar aku mencopot kacamata hitam yang kukenakan. Jika tidak, ketika sujud dahi dan hidungku tidak bisa menyentuh bumi, seperti yang seharusnya kulakukan. Dari kejadian ini bisa ditarik beberapa pelajaran.
Pertama, ada sesuatu yang asing bagiku yang menampakkan nuansa persaudaraan yang kental atas keselamatan shalatku. Tanpa terkesan menggurui, sesungguhnya ia telah mengamalkan salah satu ajaran Islam yang esensial, amar ma'ruf nahi munkar.
Kedua, ia telah menunjukkan kepadaku bahwa informasi-informasi mendetail tentang kaidah dasar shalat adalah sesuatu yang biasa di kalangan umat Islam di seluruh negeri, baik tingkatan maupun profesi. Ketiga, ia menjelaskan kepadaku bahwa shalat menurut Islam adalah suatu kegiatan dinamis antara roh dan jasad sekaligus.
Sehubungan dengan ini, seorang mualaf akan sering mengalami kelelahan fisik. Shalat seorang muslim yang bijak, yang merefleksikan pandangannya yang menyeluruh, dan mencerminkan kepribadiannya, adalah ajakan persaudaraan dan persatuan atas dasar persamaan antara manusia. Islam adalah sujud. Sujud adalah Islam.
Islam dan Era Boom Minyak
(Jedah, 28 Desember 1982)
Keberuntungan menimpa bangsa Arab dua kali dalam sejarah. Pertama, pada abad ke-7 M, ketika Islam menjadikan Mekah sebagai kiblat dunia. Kedua, setelah tahun 1973, ketika harga minyak membumbung tinggi. Ketika Allah memerintahkan Nabi lewat firman-Nya, "Bacalah dengan nama Tuhanmu yang telah menciptakan", sesungguhnya Ia menganugerahi Nabi suatu kenikmatan yang langgeng. Kemudian, penemuan minyak membawa keberkahan.
Jika seseorang berasal dari Hijaz, maka dua momen yang mencengangkan ini cukup memberi indikasi bahwa Muhammad menginduk ke "bangsa terpilih" yang memiliki karakter Arab yang khas.
Walaupun begitu, sahabat mudaku dan kawan-kawannya tidak terpengaruh oleh kemewahan yang menimpa mereka. Orang-orang Saudi dengan penuh bangga menyebut bahwa warisan klan-klan Badui yang bebas lebih mahal daripada deposito. Mereka lebih tertarik mendiskusikan masalah-rnasalah agama daripada membicarakan dolar, bursa efek, atau masalah kebebasan seksual diramalkan oleh Herbert Marcus.
Tiap pagi mereka saling menelepon untuk memastikan bahwa di antara mereka tidak ada yang ketinggalan shalat subuh. Di Barat, seseorang sering mempertanyakan sejauh mana kemampuan perilaku yang ketat ini dalam memegang teguh tujuan-tujuan luhur dalam menghadapi serangan hedonisme. Ia juga tidak mampu menggambarkan bagaimana ia menjauhi fenomena dalam kerangka kekayaan yang berlimpah.
Orang-orang Saudi tentu saja belum melewati keseluruhan fase-fase dalam era industrialisasi. Mereka dikejutkan gempita era teknologi di pasca-era-industrialisasi. Pertanyaan sekarang adalah apakah fenomena ini menambah atau mengurangi bahaya-bahaya yang menghadang agama akibat meningkatnya taraf kehidupan.
Sebelum seseorang menghamburkan ramalan-ramalannya lebih jauh dari itu, seyogianya kita mengakui kepada diri kita dengan pendekatan Marxisme terhadap sistem ini. Apakah kita sudah benar-benar terlena dalam lautan materialisme sampai pada tingkat yang menjadikan kita tidak mampu untuk mengkhayalkan sesuatu yang lebih besar dari "bangunan atas" (seperti yang disebut Marx), sesuatu yang lebih besar dari cerminan situasi-situasi ekonomi sekarang.
Secara realita, Islam lebih dari sekadar penggolongan tingkatan dan pendapatan per kapita. Sungguh, agama ini mampu membentengi manusia dalam melawan harta dan kemewahan.
Seorang muslim yang saleh tidak akan bekerja menurut prioritas berdasarkan pertimbangan pasar. Ia memproduksi semaksimal mungkin dan memperbesar keuntungan.
Pada saat yang sama, umat Islam tidak menganggap pemilikan pribadi, perdagangan, keuntungan, dan kekayaan sebagai keburukan, tidak juga mencelanya. Seorang muslim yang saleh keadaannya seperti direktur bisnis Kristen dari sekte "beramal karena Tuhan." [2] Ia tidak merasa asing dengan dunia ekonomi juga tidak mengerahkan seluruh tenaga dalam menaati azas manfaat.
Atas dasar ini, ada harapan bahwa Islam mampu --dengan menjauhi lintas silang dua peradaban Kapitalisme dan Marxisme-Lenmisme--untuk menjadi alternatif terbaik (alternatif yang berwajah insani).
[2] Sekte "Amal Karena Tuhan" (Opus Dei) adalah Ikatan Katolik Internasional yang didirikan oleh seorang Spanyol pada tahun 1928 yang mencakup kaum sekularis dan misionaris, yang lewat profesi dan pekerjaan mereka di masyarakat berupaya menyebarkan Kristen.
Ketika Seseorang Berserah Diri Melalui Pikirannya kepada Allah
(Aachen, 5 Februari 1983)
Di tengah-tengah pertemuan tahunan yang digelar pada musim semi oleh umat Islam Jerman di Masjid Bilal, Aachen --salah seorang peserta mengkritik hubungan jabatanku sebagai Direktur Penerangan Pakta Pertahanan Atlantik Utara (NATO) dengan akidah yang kuanut, yaitu Islam. Walaupun begitu, hal itu tidak menjadi hambatan yang berarti. Jika terdapat kesempatan mengembangkan Islam di Barat, maka Barat seyogianya sebelum segala sesuatunya merasa aman dari ancaman Soviet. Dalam hal ini, NATO telah berhasil menjinakkan bahaya yang dianggap momok eksternal terbesar, di samping Islam.
Dan, aku sungguh mengakui bahwa Uni Soviet dalam kapasitasnya sebagai pemimpin tunggal komunisme internasional dianggap sebagai ideologi yang tingkat bahayanya lebih kecil terhadap Islam daripada agnotisisme, materialisme, dan teknologi Barat. Ini karena ateisme Barat yang "ilmiah" menyusup dengan perlahan seperti langkah-langkah kucing kecil (meminjam istilah Robert Frost). Sedangkan, ateisme Soviet memaksakan ideologi dengan kekerasan lewat tank-tank, tentara merah, seperti yang terjadi di Afghanistan.
Walau demikian, masih benar bahwa kebangkitan rohaniah apa pun di Barat dengan segala potensinya untuk memeluk Islam memprioritaskan keamanan material melawan infiltrasi Soviet. Karenanya, maka kepentingan-kepentingan politik antara NATO dan negara-negara Islam pada saat ini selalu sama.
Bisa ditebak, aku juga menjelaskan pengalaman pribadiku "Jalan Menuju Mekah". Berikut, adalah rangkumannya.
"Ketika aku membaca Al-Qur'an pertama kali, aku langsung terpesona. Bahkan, aku mengambil pelajaran dari ayat 164 surat al-An'am, "Dan seorang yang berdosa tidak akan memikul dosa orang lain." Aku memahami suatu kesalahan dalam ajaran Kristen tentang dosa warisan. Konsep yang benar adalah laki-laki dan perempuan berdiri di hadapan Sang Pencipta secara langsung tanpa perantara "Tiada yang dapat memberi syafaat di sisi Allah tanpa izin-Nya" (bagian dari ayat kursi, surat al-Baqarah:255). Dan, surat al-An'am ayat 164, pada gilirannya membawa makna esensial lain, yaitu pengingkaran konsep dosa pertama Adam.
Jika seorang tidak memulai dengan suatu hipotesis bahwa kita sangat membutuhkan "pemurnian", maka ia tidak akan mencari "pemurni" dan tak mungkin ia akan mendapatkannya. Karenanya, penjelasan Al-Qur'an ini memainkan peranan besar yang dapat menyeret Kristen menuju kesesatan.
Setelah aku memahami hal itu, sekarang aku meyakini bahwa Islam bukanlah suatu langkah mundur ke belakang, melainkan sebuah langkah yang mengantarkan manusia maju ke depan dan menuju tingkat yang lebih maju dari apa yang telah dicapai setelah Almasih. Jika, kita boleh mengunakan istilah-istilah Hegel dan Marx, maka kita bisa mengatakan bahwa Islam telah menghentikan Kristen di atas kakinya sendiri, setelah sebelumnya Kristen berdiri di atas kepalanya sendiri.
Sementara kalangan Agnostis berasumsi bahwa kita tidak mungkin mengenal sesuatu yang tidak ditangkap oleh pancaindra secara yakin, maka mereka berpendapat kepada penegasan kemungkinan ketiadaan wujud hakikat di balik indra-indra itu.
Ini bukanlah sikap yang membutuhkan kecerdasan, melainkan lebih kepada alasan atau justifikasi, dan bercirikan pemihakan. Mungkin lebih dekat kepada kejujuran dengan dasar kemampuan pemikiran manusia terhadap investigasi --suatu pengakuan bahwa kita tidak mampu sekalipun memberikan kemungkinan-kemungkinan terhadap sesuatu yang gaib.
Ketika aku memegang pendapat ini, selama beberapa waktu, aku bisa mengira bahwa suatu hari batas-batas sesuatu yang dapat kita ketahui bukanlah batas-batas hakikat. Hal itu adalah keputusanku disertai keimanan. Dan, karena menyadari keterbatasan kita dalam mengetahui segala sesuatu dengan yakin, karenanya aku memilih sikap jiwa yang rendah hati daripada sikap sombong dan bodoh yang dilakoni oleh penganut Agnotisisme, yang mementingkan keberanian dan kepuasan diri, dan orang-orang yang biasanya hidup dalam keterasingan diri yang kaku dan picik.
Dengan penuh kesadaran, aku menyerahkan diriku dan pikiranku kepada hakikat yang lebih agung, yang aku rasakan bahwa aku tiada lain hanyalah bagian kecil darinya. Aku serahkan diriku kepada Zat yang lebih besar dari para pembesar dunia; Allah Yang Mahabesar dari segala apa yang mungkin kita bayangkan."
Ketika aku mengatakan hal ini, sungguh aku tidak ingin menggiring seorang pun ke dataran licin dengan berusaha mengenalkan Allah dengan sifat-sifat manusia. Jumlah bilangan al-Asmaul Husna, yaitu 99 itu adalah satu persoalan. Sedangkan, terperosok dalam dataran waham (asumsi) bahwa nama-nama metaforis (majaz) yang dibentuk dalam bahasa manusia yang bisa menyifati atau meringkas karakter dan Zat-Nya adalah persoalan lain. Dengan kadar bahwa kita adalah tawanan dari kamus yang kita buat sendiri, dengan kadar yang jelas dari kemampuan kita --sekalipun dibantu wahyu--nama-nama itu tidak mampu diketahui kecuali beberapa percik dari hakikat Allah yang menyeluruh.
Apa pun yang kukatakan, sesungguhnya hanyalah sedikit dari yang banyak.
Kemenangan bagi Islam
(Bonn, 4 Juni 1983)
Ada suatu peristiwa paling utama bagi Islam di Jerman akhir-akhir ini, ketika guru besar teologi Protestan, Dr. Paul Schwartznow, menyusun sebuah buku bertitel "Al-Qur'an Sebagai Petunjuk Bagi Umat Kristen", Stuttgart, 1982. Dalam bukunya, ia mengakui kebenaran Al-Qur'an, sekalipun ketika terjadi kontroversi dengan injil.
Ia yang banyak berhutang budi terhadap pikiran-pikiran Karl Gustav Young dalam bidang psikoanalisis, mengakui bahwa Al-Qur'an telah berhasil dalam mendatangkan contoh-contoh asli yang bersesuaian dengan konsep "alam bawah sadar sosial". Hal ini membawa ia untuk menegaskan bahwa Al-Qur'an adalah benar, sebuah wahyu murni bukan buatan manusia. Al-Qur'an sekalipun tidak lepas dari kejadian-kejadian sejarah yang melingkupinya, namun ia tetap independen dari konteks sejarah apa pun; tidak dibatasi waktu dan mengandung hakikat inti. Paul mengumpamakan Al-Qur'an sebagai bola kristal yang merefleksikan cahaya Tuhan dalam spektrum-spektrum yang tak terhingga.
Ringkasnya, ia mendapat hidayah bahwa Islam adalah agama dan akidah pertama dalam mentauhidkan Allah dan karenanya yang paling tua dan paling dinamis --dan jika tidak ada komentar lain pun, sungguh ini sudah cukup untuk menjadikan Profesor Kristiani ini telah menyadarkan umat Islam akan hakikat agamanya.
Sudah barang tentu, ia tidak menerima konsep Trinitas yang mengimplikasikan persatuan Almasih secara jasmaniah dengan Tuhan. Akan tetapi, ia berujar, "Sesungguhnya Yesus yang dikenal sejarah tak mungkin menoleri penuhanan atas dirinya."
Menurut sang pakar, dalam konteks ini kitab Perjanjian Baru telah mengalami tahrif (distorsi) melalui penyelewengan penafsiran, jika bukan pemalsuan. Apa ada yang lebih utama dari peristiwa tersebut, pada masa ini?
Bersih, Lebih Bersih, dan Paling Bersih
(Aachen, 16 Agustus 1983)
Tidak sekali seseorang merasa begitu jijik terhadap seseorang yang berasal dari bangsa lain atau akidah lain, kecuali ia mengetahui bahwa ia bisa membedakan baunya orang ini, tepatnya betapa busuknya si musuh ini.
Inilah perasaan orang Jerman terhadap orang Polandia dan Yahudi. Walaupun banyak bukti di antaranya hasil polling pendapat yang menyatakan bahwa kebersihan orang Jerman lebih dihubungkan dengan kebersihan trotoar jalanan dan jendela rumah daripada kebersihan gigi mereka.
Pada saat ini, orang Jerman melakukan tindakan rasial terhadap buruh-buruh Turki. Mereka (orang Jerman) melihat orang Turki berbeda dengan mereka. Ringkasnya, menurut mereka, orang Turki kotor dan kumuh.
Orang Turki pun begitu. Mereka juga terjebak dalam kedengkian jiwa yang sama. Mereka dengan penuh arogan memandang turis-turis Arab kaya yang "kotor" memenuhi kamar-kamar hotel mewah di sepanjang selat Bosporus.
Sungguh, penyakit membanggakan ras ini menjadi bahan ejekan yang menarik, terlebih jika umat Islam yang menjadi sasaran. Itu karena Islam sangat memperhatikan kebersihan. Kenyataan bahwa seorang muslim diwajibkan shalat lima waktu, sehari semalam. Itu mengisyaratkan ia mesti bersuci lima kali sehari -kain penutup kepala yang biasa dikenakan wanita Turki sesuai dengan syariat Islam, ia mesti, mencuci rambutnya beberapa kali dalam seminggu.
Dengan jujur aku katakan, sungguh sudah seringkali kutemui orang-orang yang membuat aku flu karena bau mereka yang menyengat di opera Paris, Lincoln Center (New York), atau di Teater Nasional Munich. Sebaliknya, aku tidak pernah menemui orang-orang yang semacam ini di masjid. Apakah ini tidak berarti bahwa orang Islam jauh lebih bersih ketimbang orang Jerman?
Umat Islam Jerman
(Bonn, 14 September 1983)
Untuk yang kedua kalinya, Sekolah Diplomat Departemen Luar Negeri Jerman, di Bonn, menggelar seminar tentang Islam dari berbagai sisi. Tema "Muhammad sebagai Rasul" pernah diangkat dalam sebuah muktamar pada tahun 1980.
Pada tahun ini panitia seminar mengundang tiga tokoh muslim anak negerinya. Mereka adalah Muhammad A. Hoboum, Rolf Abdullah Bernard, dan aku sendiri. Dalam presentasi yang kuajukan, aku bersandar kepada salah satu buku dari dua buah buku karanganku tentang peran filsafat Islam (Cologne 1985, ISBN 3-8217-0043-2).
Ketika istirahat makan siang, kami membuat sedikit masalah karena menampik menu daging babi. Apakah mereka masih tidak tahu bahwa mengkonsumsi daging babi berbahaya dari segi kesehatan, karena daging itu tidak steril dari cacing pita. Ia juga bisa meningkatkan kolesterol dan memperlambat proses pencernaan makanan dalam tubuh --yang pada gilirannya bisa menimbulkan kanker lambung. Serta menyebabkan tumor, luka eksim, dan rematik? Bukankah kita sudah cukup menyadari bahwa virus influenza yang berbahaya itu bisa hidup di musim panas berkat keramahan daging babi?
Amma ba'du, pada tahun 1985, dengan angka 80 juta, produksi daging babi mencapai angka tertinggi dalam sejarah pasar-pasar Eropa Bersatu.
Jika seseorang tidak berhenti mengkonsumsi daging babi selama beberapa waktu, ia akan kehilangan nafsu makan, dan akhirnya mual karena bau daging ini. Sebaliknya, jika ia tidak makan daging babi maka mungkin perutnya akan kesakitan.
Bukankah aneh bila Muhammad yang ummi, tidak pernah mendapat pengajaran dan hidup di lingkungan yang berbeda, bisa memprediksikan itu semua? Tak ragu lagi ia memiliki periwayat yang lebih pandai.
Tipuan Bahasa
(Bonn, 19 November 1983)
Seringkali kalangan fundamentalis Islam dituduh sebagai orang-orang yang suka mendebat dan terlalu tekstual dalam menafsirkan Al-Qur'an. Otomatis tuduhan bahwa kaum muslimin mengabaikan hakikat bahwa bagian besar dari Al-Qur'an tidak bisa dipahami secara tekstual adalah dusta belaka. Mereka sungguh mengetahui bahwa hakikat metafisika tidak sampai kepada kita, kalaupun sampai, itu hanya dalam simbol-simbol bahasa yang bersandar dari pengetahuan intuitif yang sangat terbatas sekali.
Sesungguhnya pengakuan bahwa wacana-wacana yang berhubungan dengan persoalan-persoalan alam kauniyah dan ushuludin (teologi) dalam Al-Qur'an mesti bersifat metaforis (kiasan) adalah suatu persoalan. Sedangkan, sangkaan bahwa setiap orang bisa memahami makna-makna metaforis ini yang terdapat dalam wahyu dengan yakin adalah persoalan lain. Kaum muslimin tentu saja menolak adanya kemungkinan ini.
Menjadi jelas sekarang lewat para pakar analisis bahasa, seperti Fertez Mottner dan Ludwig Fitzgenstein bahwa seluruh pikiran, mimpi, dan perasaan kita --yang datang dari jalan intuisi atau ilham--hanyalah sempurna jika itu terjadi dalam kerangka-kerangka dan asosiasi-asosiasi yang dibatasi oleh bahasa kita. Karenanya, tiada keraguan bahwa kata apa pun dari kata-kata bahasa sampai yang kita sebut sebagai istilah "abstrak" sekalipun adalah hasil intuisi kita yang ditransfer ke dalam kamus bahasa kita. Begitu seterusnya, sampai kita tidak dapat mengatakan apa yang tidak mampu kita gambarkan, atau memikirkan sesuatu yang tidak mampu kita capai dengan intuisi kita.
Dengan latar belakang seperti ini, kaum muslimin mempercayai bahwa hakikat-hakikat metafisika tidak mungkin kita transfer sebagai bagian dari wahyu kecuali dalam simbol majas (metaforis) dan tidak ada jalan yang kuat baik melalui logika atau tasawuf untuk menembus makna-makna di balik teks-teks wahyu.
Kesimpulannya, jika di antara petunjuk kecerdasan adalah menghormati keterbatasan intuisi manusia yang sempit --seperti yang dianut oleh pakar-pakar kontemporer--maka tidak bisa dikatakan bodoh kehati-hatian seseorang dengan keraguan yang sama terhadap penafsiran metafisika apa pun seperti yang dilakukan kaum muslimin.
Dalam menghadapi problema menghancurkan (tabdid) yang samar, yang bertentangan (paradoks), dan makna-makna simbolis yang melingkupi sebagian teks Al-Qur'an, maka kaum muslimin --dengan gaya filosofis--adalah para pengkritik secara mutlak terhadap perkara-perkara gaib para penganut aliran agnostisisme dan para penganjur aliran semantik. [3] Hanya saja mereka mengakui bahwa solusi filosofis dan intuisi-intuisi sufistis terhadap persoalan-persoalan metafisika tidak lebih dari hasil kekurangan kamus bahasa kita; itu hanyalah main-main.
Dan, jika kita menilai kaum muslimin dari sisi ini, apakah mereka tidak dianggap orang-orang yang berpandangan jauh ke depan, bervisi jelas, dan berhiaskan hikmah?
[3] Adalah aliran filsafat yang mengatakan bahwa istilah-istilah abstrak atau kulliyat tidak mempunyai wujud yang hakiki. Ia hanyalah persoalan penamaannya, lainnya tidak.
Ada yang Aneh dalam Hal Ini
(Bonn, 29 Desember 1983)
Betapa banyak orang yang berusaha menelusuri kehidupan Muhammad saw. dan sejarah perjalanannya dari tahun 570 sampai 632 M. Dalam konteks ini, kita dapati dua kitab yang menarik dari sejumlah kitab sirah (biografi Rasulullah). Pertama, kitab klasik Sirah Rasulillah karya Ibnu Ishaq yang di-tahqiq oleh Ibnu Hisyam pada tahun 200 H --diterjemahkan oleh Prof. Gouyum, Oxford 1955. Yang satu lagi buku kontemporer yaitu Muhammad dan Kehidupannya yang disusun dari referensi-referensi klasik (New York, 1983) karya Martin Lings.
Jika kita cermati dari pengaruh kecenderungan terhadap penilaian masalah dalam kerangka mukjizat, selain lewat tuntutan-tuntutan loyalitas politik, maka jelas bagi kita bahwa Nabi Muhammad --dari referensi-referensi ini--adalah seorang politikus yang hebat, berkepribadian kuat, berkarisma tinggi, dan memiliki kemampuan taktis yang cemerlang.
Hal ini terbukti jika dilihat dari rentang waktu antara hijrahnya ke Madinah dan futuh Mekah. Beliau adalah seorang jenderal yang prestasinya melebihi Karl Von Clausewitz. [4] Pada saat itu, Muhammad berhasil --dengan kecerdasannya yang luar biasa--menerapkan dasar-dasar peperangan, baik dari segi ekonomi maupun mental prajurit. Beliau juga sukses menggunakan negosiasi gencatan senjata sebagai alat politik luar negeri.
Penerimaan beliau terhadap Perjanjian Hudaibiyah yang sempat menimbulkan kekhawatiran di kalangan para sahabat merupakan manuver diplomasi tingkat tinggi. Karena itu, orang-orang Mekah segera menyadari bahwa mereka telah menjerumuskan diri mereka ke dalam penyerahan pada masa yang akan datang.
Dengan kejeniusan yang sama, Muhammad berhasil mempersatukan dua kekuatan Madinah, Islam dan Yahudi dalam "Deklarasi Madinah" yang terkenal itu.
Jika seseorang mengambil pelajaran dari kesuksesan beliau di bidang perdagangan, kebijaksanaannya sebagai hakim, kemampuan retorikanya, dan ketinggian sastranya, maka ia dengan segera akan mendapatkan dirinya tak mampu menjelaskan bagaimana hal-hal itu menghiasi diri pribadi seorang Arab, yang tak pernah mendapat pengajaran (ummi) dan berdomisili di masyarakat yang dianggap terbelakang?
Ada yang aneh dalam hal ini. Tampaknya, ada campur tangan Illahi.
[4] Karl Von Clausewitz adalah seorang Jendral Prusia. Ia pernah menjabat sebagai Direktur Akademi Militer di Berlin. Bukunya yang bertitel Tentang Perang mendapat penghargaan tinggi dan dianggap sebagai referensi militer utama.
Pluralisme dalam Islam
(Luterzbach, 16 Februari 1984)
Sudah lewat setahun sejak Ahmad Von Denver menerbitkan "Beberapa Risalah Untuk Saudara-saudaraku" yang berisi 12 risalah. Dalam risalah "Menuju Masyarakat Muslim", ia mengkomparasikan antara ajakan untuk melaksanakan ajaran-ajaran Islam dan akidah, sebagai prioritas utama dan usulan-usulan terbatas tentang bagaimana sampai secara individual, langkah demi langkah, menuju taraf kesempurnaan dalam masyarakat Islam (atau bisa juga disebut ukhuwah islamiyah).
Tema yang difokuskan oleh Ahmad, sebagaimana terdapat dalam Al-Qur'an berkaitan dengan fenomena munafik.
Upaya-upaya ini punya akar yang dalam. Sepanjang sejarah Islam, pemuda muslim mendirikan organisasi-organisasi rahasia yang kadang-kadang menjalankan gerakan tutup mulut dan menggunakan sistem kelompok.
Karena kenaifan manusia dan mengakarnya rasa ego, maka tidak mudah mewujudkan kemajuan di bidang agama, pada saat Ignatius Alioly dan Vladimir
A. Lenin sukses menguasai dunia dengan menciptakan krisis-krisis.
Sungguh bertambahnya kesempatan-kesempatan Islam di Barat, tidak hanya terhenti dalam tataran pengalaman ajaran-ajaran agama secara kaffah saja, namun lebih dari itu, juga menuntut keahlian-keahlian manajemen, khususnya di bidang pangan, organisasi, dan transportasi.
Hari ini kami bertemu dalam suatu lesehan di Darul Islam, di desa kecil yang terletak di selatan Frankfurt, untuk mendiskusikan bagaimana mengusahakan pengakuan Islam secara resmi di Jerman.
Pengakuan resmi merupakan syarat penting untuk menyebarkan pengajaran Islam di sekolah-sekolah dan untuk mengumpulkan pajak-pajak, seperti yang didapatkan gereja melalui instansi keuangan negara. Dalam merealisasikan syarat penting ini, Islam dituntut untuk bersatu di Jerman.
Seseorang tidaklah bersalah dalam memahami keinginan pemerintah Jerman dalam berinteraksi dengan satu mitra yang kuat. Inilah letak masalahnya.
Umat lslam --seperti halnya orang Arab--mewakili kelompok-kelompok yang masing-masing berkeinginan keras untuk independen dan memainkan pluralisme dengan cara yang tidak mungkin ditolerir atau dibiarkan oleh gereja. Bisa jadi, rasa tidak senang ini timbul karena Islam tidak mengenal praktik ritus-ritus suci. Hal ini seperti yang terdapat dalam agama Kristen, sekaligus dengan tuntutan-tuntutan kependetaan dan keuskupan --praktik-praktik ritus suci dan hierarki kependetaan seringkali digunakan untuk memperkuat persatuan dan kedisplinan.
Islam menyatakan meskipun hal itu dalam sistem khilafah --sampai beberapa waktu setelah PD II usai--toleransi yang besar dalam masalah-masalah penafsiran dan yang berkaitan dengan ushuluddin (teologi).
Sudah tentu, vonis murtad terhadap seorang muslim selama berpegang teguh terhadap dasar-dasar Islam dan mengakui keislamannya adalah di antara faktor-faktor penting yang mempengaruhi terciptanya situasi ini.
Karena, jarang kita temui pelarangan kegiatan-kegiatan kelompok yang mengatasnamakan Islam secara resmi, seperti yang terjadi terhadap kelompok Ahmadiyah di Pakistan.
Umat Islam selalu memandang kemajemukan mereka sebagai sumber kekuatan, bukan sumber kelemahan. Hal itu bisa dipahami, karena latar belakang lahirnya empat mazhab, tarekat-tarekat sufi (seperti Qadiriyah, Baktasyiah, dan Naqsyabandiah) dan kelompok-kelompok keagamaan (seperti Syiah dengan segala ordonya).
Di Barat friksi umat Islam menjadi beberapa kelompok, semakin bertambah atas dasar keanggotan ganda dan bahasa. Hasilnya adalah kombinasi acak-acakan dari oraganisasi-organisasi, budaya-budaya, dan akidah-akidah Islam di bawah kubah besar Islam.
Jika kelompok-kelompok ini memperhatikan saran Ahmad Denver, maka umat Islam di seluruh negara. Eropa dan Amerika Utara akan segera menyadari bahwa mereka menumpang kapal yang sama dan menuju arah yang sama.
Nabi Amerika
(Washington, 26 Mei 1984)
Ketika konferensi musim semi Menteri-menteri Luar Negeri NATO berlangsung, kami menginap di Hotel Marriot Washington, milik keluarga Mormon. Itulah sebabnya terdapat "Kitab Mormon Gereja Yesuit Untuk Pendeta-pendeta Kontemporer" di laci meja samping tempat tidur. Semestinya teks-teks yang tertulis dalam bahasa Taurat, yang ditemukan oleh Joseph Smith di Almira, New York, pada tahun 1830 disalin di atas lembaran-lembaran emas (lantas lenyap segera setelah ditulis).
Hari ini kami dapati berjuta-juta manusia mengimani "wahyu Amerika" ini, ditambah dalil baru bahwa tidak ada sesuatu yang begitu bodoh, kecuali ia telah menemukan orang yang mengimaninya.
Tentu saja kita tidak membandingkan antara Islam yang hanif dan dongeng-dongeng khayalan tersebut. Oleh karena, Islam tidak pantas dibanding-bandingkan.
Kitab itu aku kembalikan ke tempatnya semula, lalu kuhamparkan sajadah yang kubeli dari Kenya. Kemudian, segera kulaksanakan shalat isya sebelum aku terlelap dalam tidur yang nyenyak, setelah perjalanan sepuluh jam melintasi benua yang melelahkan.
Khitan
(Istambul, 9 Juli 1984)
Sungguh operasi khitan buat orang dewasa bukanlah hal yang mudah, walaupun yang menjalankan operasi adalah ahli bedah rumah sakit modern di Nesantas.
Pada saat yang sama, khitan mengandung makna simbolis yang dalam yang membawa seseorang melintasi rangkaian zaman yang panjang kembali ke masa Nabi Ibrahim, 3000 tahun yang silam. Khitan mencerminkan bahwa memeluk Islam adalah keputusan yang tidak bisa diutak-atik. Keadaannya sama seperti keadaan anggota tubuh lainnya yang berarti manusia tidak berhak untuk mengubahnya.
Tradisi khitan tidak diisyaratkan dalam Al-Qur'an. Ia adalah tradisi yang dibumikan oleh Taurat, lalu tradisi ini dipelihara oleh Islam dalam kerangka adat kebiasaan yang sehat dan terpuji, seperti memotong rambut dan kuku. Karenanya, kewajiban dalam memasyarakatkan tradisi khitan mempunyai akar yang panjang dan dalam.
Adapun alasan-alasan yang dikemukakan orang-orang tua zaman sekarang tidak lebih dari alasan praktis, kesehatan, dan seksual --selain alasan-alasan lahir
Anekdot
(Istambul, 15 Juli 1984)
Walaupun Islam memerangi segala bentuk klenik, namun seseorang pasti sedang berilusi, jika ia meyakini bahwa negeri-negeri Islam tidak mengenal "mata kedengkian", kekuatan sihir, dan para penyihir wanita yang menghembuskan buhul-buhul, sebagaimana diisyaratkan dalam surat al-Falaq.
Sesungguhnya pengharaman Al-Qur'an terhadap ramalan terhadap hal-hal gaib tidak melemahkan adat membaca nasib orang dari dasar "cangkir kopi" yang kebanyakan orang hampir mempercayainya.
Sekalipun kebanyakan orang-orang sekuler Turki telah jauh dari Islam, namun mereka tidak mampu mengatasi kelemahan mereka dalam menghadapi praktik-praktik khurafat. Seakan mereka menegaskan ungkapan, "Di mana iman lenyap, di situlah khurafat eksis."
Anehnya, sebagian praktik --yang mendekati sihir--telah menyusup ke dalam tubuh Islam sendiri, akibat kerancuan pemahaman terhadap surat Yasin di mana termasuk yang diyakini bahwa membacanya --terlebih lewat seorang perantara baik dihadiahkan untuk yang hidup maupun yang telah mati--mempunyai faedah yang mujarab. Tetapi, bagaimana keadaannya jika seseorang menjadikan surat ini atau ayat lain sebagai jimat? Bukankah hal ini dianggap menghadapi qadar sebagai senjata melawan kehendak Tuhan?
Di Turki ada beberapa wanita yang mengasamkan susu yang telah dijampi dengan surat Yasin dan menjadikannya sebagai obat atau penolak hasad seseorang (mata kedengkian).
Manusia menurut tabiatnya cenderung kepada hal-hal yang tidak mengenal kata "capek" untuk mempermainkan nasibnya dan nasib orang lain, mengetahui keadaan masa depan, dan untuk menundukkan kekuatan gaib.
Sayang sekali Islam belum mampu memberantas kerusakan ini. Apakah Al-Qur'an mesti mengulang lebih dari yang ia telah lakukan bahwa tidak ada seorang pun yang mengetahui kapan kiamat terjadi. Dia-lah yang membalas dan menghukum dengan kehendak-Nya dan tak ada yang mampu memberi syafaat tanpa seizin-Nya?
Apakah sebagian orang memandang agama Islam telah berlebih-lebihan dalam rasionalitasnya? Apakah sebagian umat Islam merindukan melihat tuhan Bizantium yang dilukis pada dinding mosaik emas? Atau, tuhan disalib yang bisa disentuh? Atau, tuhan anak yang tidur di keranjang bayi? Auzubillah, aku berlindung kepada Allah.
Istigfar Ketika Menang
(Roma, 15 Oktober 1984)
Di tengah-tengah perjalanan pulang dari ceramah yang kusampaikan di akademi pertahanan yang berada di bawah naungan NATO tentang "Opini Umum dan Pertahanan", aku mendapatkan waktu luang di Bandara Fiomichino untuk menelaah surat al-Nashr (surat ke-110). Dulu aku pernah mengenal teks dan makna surat ini, namun aku khawatir salah mengucapkannya. Lain, aku segera menemui lelaki yang bertopi tarbusy ala Tunisia di ruang pemberangkatan sambil mengucap salam, "Assalamu'alaikum."
Ketika ia mengetahui maksudku, ia segera membaca surat al-Nashr, "Jika datang pertolongan Allah dan kemenanganNya....", seakan-akan ia sudah menunggu permintaan ini dariku.
Sesuai dengan ayat terakhir surat ini, Allah memerintahkan umat Islam agar tidak diliputi rasa bangga yang berlebihan saat kemenangan menghampiri, bahkan diperintahkan agar beristigfar dengan penuh khusyu.
Betapa mencengangkan prinsip ini. Sejarah diplomasi akan berbeda seandainya para politikus memegang teguh nasihat ini, "Bukankah Perang Dunia II bisa dihindari, apabila Clemenso dan Juan Care sungguh-sungguh melaksanakan isi surat al-Nashr pada tahun 1919 daripada membalas dendam kepada Jerman?"
Sekilas tentang Deonisius
(London, 24 Oktober 1984)
Paman Hugo Paul, pendiri aliran "Dadaism" [5] di Zurich, setelah Perang Dunia II usai, tidak menyandarkan kemasyhurannya dalam kapasitasnya sebagai penyair yang memakai metode persesuaian rima semata. Namun lebih dari itu, ia melakukan kritik sastra yang mendalam terhadap masyarakat masa lain dan masa kini. Di antara karyanya, "Kritik terhadap Kalangan Cendikiawan Jerman" (Bern 1919), "Hasil-hasil Reformasi" (Munich 1924), dan "Lari dari Zaman" (Munich 1927).
Termasuk yang sering disebut adalah sumbangannya yang berharga dalam teologi lewat bukunya Kristen Bizantium yang dirilis pada tahun 1923 di Munich (edisi kedua tahun 1979).
Buku ini menceritakan Deonisius, seorang pendeta aneh penyusun ketuhanan malaikat, yang dianggap orang-orang pada zaman pertengahan semasa dengan Pendeta Petrus dan pada gilirannya saksi pertumbuhan Kristen. Karena sebab ini dan sebab pengaruh tulisan-tulisannya, maka ia mendapat persetujuan (justifikasi) dari Pendeta Thomas Aquaweiney.
Pada saat pengetahuan kita terhadap pribadi Deonisius berkurang --yang kemudian disebut Deonisius terdakwa--pengetahuan kita bertambah terhadap sumber-sumber tulisannya lebih dari yang disampaikan oleh Pendeta Thomas Aqueney. Siapa pun Deonisius ini, ia hidup di pengujung abad ke-5 dan awal abad ke-6. Dia sangat terpengaruh oleh Brocleus, sampai-sampai ia menjadi pendukung aliran neo-Platonisme dan menempuh metode Gnostisisme.
Deonisius telah menyembunyikan "ketuhanan batin" dan yang mengandung renungan-renungannya dalam lapisan bangunan alam --pihak gereja segera menerimanya di antara ajaran-ajaran pertamanya 600 tahun setelah wafatnya Almasih.
Deonisius, sebagai sufi Yunani, mempunyai kepentingan khusus bagi para pelajar akidah Islam, jika mereka ingin mendalami beberapa segi sufisme Islam dan mazhab Syiah, khususnya pada konsep-konsep yang berkaitan dengan "cahaya", "ilham", "TuhanYang Mahatinggi", "jiwa sufi" dan "persatuan dengan Allah".
Sebagai penghormatan terhadap Deonisius, kita kutip dialognya yang pertama kepada Gaeos, "Sesungguhnya konsep hakiki terhadap Allah adalah penyerahan diri akan ketidaksanggupan dalam menggambarkan-Nya", dan "Jika seseorang mengklaim bahwa ia telah melihat Allah dan mampu memahami apa yang ia lihat, maka sebenarnya ia tidak melihat-Nya, karena zat-Nya jauh dari pencapaian segala pengetahuan dan semua wujud. Ia melampaui di atas pengetahuan dan pemikiran keadaan-Nya karena zat-Nya lebih luhur dari segala makhluk. Karenanya, ketidaksanggupan yang sempurna dalam menggambarkan-Nya (tashawur) adalah tashawur hakiki baginya."
Hugo Paul juga berhasil membuktikan bahwa Deonisius telah menyelesaikan banyak teori dan konsep yang diambil dari sihir teori Gnostisisme, serta mempercayai kekuatan tersembunyi, dan menundukkannya untuk dikuasai manusia. Di antara ritual-ritual penyembahan cahaya ala Persia yang menyerupai ibadah-ibadah rahasia yang dalam, yang berkembang ke teori-teori alam yang asing, khususnya yang berhubungan dengan karakter, kedudukan, jumlah, tugas, dan tingkatan-tingkatan piramida malaikat.
Pandangan ini memberi pengaruh yang membekas terhadap dunia Kristen-sampai saat ini --apalagi bertolak dari asumsi bahwa materi secara umum dan aspek esoteris (rasa) dalam diri manusia secara khusus. Ia mencerminkan sisi yang merosot, bahkan yang jelek dari manusia. Konsep "Mani" ini dan penambahan karakter setan atas alam sebagai titik tolak konsep (tashawur) adalah tangga-tangga tertinggi atas tingkatan-tingkatan yang lebih luhur yang bisa dicapai oleh manusia menuju kemurnian dan kesucian.
Sungguh semua teori-teori tersebut mendekati penafsiran-penafsiran yang dikemukakan oleh Abu Hamid al-Ghazali yang didasarkan atas surat an-Nur ayat 35, sedangkan "alim besar" ini sendiri adalah cahaya abad ke-11.
Banyak kalangan yang mengomentari kitab-kitab filosof yang multibakat ini sebagai ahli hukum, serta pakar teologi yang memberantas pemikiran metafisika "kerancuan para filosof" dan yang sangat berharga, yaitu Ihya Ulumuddin dan yang berbau rasional i'tirafat (pengakuan-pengakuan). Kitabnya yang berjudul Misykat an-Nur menunjukkan bahwa al-Ghazali adalah seorang sufi.
Hari ini, kutemukan edisi terjemahan kitab ini di pameran kitab-kitab Islam di Seven Sisters Road London, yang dilakukan oleh W. Gerdner yang memberiku inspirasi di ruang tunggu Bandara Heathrow.
Al-Ghazali, melalui ketajamannya terhadap pandangan-pandangan Gnostisisme dan neo-Platonisme yang mirip dengan pemikiran Deonisius, telah berhasil menafsirkan kata-kata yang samar dan pelik dalam Al-Qur'an.
Dari sini kata roh, apakah ia dipahami sebagai jiwa atau makhluk rohani, ilham ilahi, ataukah roh itu berjasad sebagai roh suci?
Kata mutha, apakah ia berarti Jibril yang oleh Plato diartikan pencipta alam materi --artinya yang melaksanakan perintah Allah dalam penciptaan alam, bukan yang menguasai atas makhluk semata--ataukah ia emanasi pertama?
Kata al-Kalimah, bisa diambil dari makna literalnya, yakni kalimat atau personifikasi kata Allah, roh alam, ataupun emanasi.
Kata al-Amr, apakah yang dimaksud dengannya perintah Allah atau perintah penggerak pertama dalam penciptaan alam dengan izin Allah?
Kata an-Nur, apakah ia 'cahaya' menurut makna literalnya; ia berarti 'zat' Allah; Muhammad atau pencipta alam materi menurut neo-Platonisme?
Dalam upaya penafsiran istilah-istilah Al-Qur'an, konsep ini tampak menjadi pusat pertemuan aliran Gnostisisme dan neo-Platonisme dalam upaya men-tashawur-kan Allah SWT sebagai yang teragung, yang tidak berubah dan yang lebih luhur dari yang menyibukkan diri dalam proses penciptaan itu sendiri. Ia hanya diikat ke tingkatan yang paling rendah sebagai "penggerak pertama".
Hal ini tidak menuntut banyak khayalan untuk mengetahui bahwa penglihatan-penglihatan batin al-Ghazali melalui pengujian aspek kosmologi telah membawa ia dekat dengan konsep "anak Tuhan", yang hampir-hampir merusak dasar Islam yang terpenting, tauhid, yakni memastikan pengesaan Allah.
Al-Ghazali telah menampakkan sementara waktu seakan-akan ia menyepelekan kaidah dasar dalam penafsiran istilah-istilah Al-Qur'an, sebagaimana yang diisyaratkan dalam surat Ali lmran, ayat 7.
Allah berfirman, "Dia-lah yang menurunkan Al-Kitab (Al-Qur'an) kepada kamu. Di antaranya (isinya) ada ayat-ayat yang muhkamat, itulah pokok-pokok isi Al-Qur'an dan yang lain (ayat-ayat) mutasyabihat. Adapun orang-orang yang dalam hatinya condong kepada kesesatan, maka mereka mengikuti sebagian ayat-ayat yang mutasyabihat untuk menimbulkan fitnah dan untuk mencari-cari takwilnya, padahal tidak ada yang mengetahui takwilnya melainkan Allah... "
Dan, jika Anda memberitahukan padaku tentang hubungan antara seorang sufi muslim, penganut aliran neo-Platonisme Yunani-Persia, dan penganut aliran Gnostisisme, maka aku akan memberitahukan keyakinanku kepada Anda pandangan-pandangan mereka semua.
[5] Dadaism adalah aliran dalam seni dan sastra. Tersebar di Swiss dan Prancis sekitar tahun 1916-1920. Aliran ini berciri khaskan kebebasan format lepas dari ikatan-ikatan tradisional.
Mereka Pikir Aku Bergurau
(Brussel, 27 November 1984)
Hari ini, dalam kapasitasku sebagai Ketua Konferensi Tahunan NATO untuk Direktur-direktur Penerangan di Kementerian Pertahanan, aku mempresentasikan secara detail kepada para peserta tentang arah-arah opini umum pada golongan menengah.
Aku berupaya menuju titik-titik perubahan bertahap dalam sadar, khususnya di antara generasi mendatang. Aku banyak menilai di antara mereka memegang teguh idealisme, cenderung pesimistis, dan mereka mendukung nilai-nilai masa era pasca materialisme. Mereka juga mengungkap kebutuhan mendesak mereka, khususnya terhadap kebersamaan dan persiapan untuk mengikuti secara moral terhadap kepemimpinan-kepemimpinan yang kuat. Hal ini tampak jelas pada rasa menyerah di setiap pementasan musik yang diisi dengan dansa rock 'n roll.
Mayoritas anak-anak muda itu melukiskan bahwa mereka terkena depresi dan mengalami kegoncangan emosi. Kepercayaan mereka terhadap demokrasi, lembaga-lembaga pemerintahan, kekuasaan-kekuasaan umum dan khusus, secara umum terguncang. Itulah sebabnya pandangan masa depan mereka diliputi keraguan yang membahayakan.
Dalam presentasiku, kutunjukan bahwa fenomena-fenomena ini hanyalah puncak gunung es yang di bawahnya tersembunyi kebobrokan-kebobrokan sosial, dan kultural yang diprediksi sejak lama oleh para pemerhati sosial yang sadar di Universitas Harvard, seperti Daniel Bell dalam bukunya "Paradoks Kebudayaan dalam Kapitalisme", dan Profesor Leo Mollan dari Belgia dalam bukunya "Konspirasi Eropa".
Aku memperkuat analisis-analisis mereka tentang era sekarang, yaitu era ledakan ilmu pengetahuan dan teknologi. Disebutkan, "Sesungguhnya masyarakat Barat yang bercirikan demokrasi, undang-undang, dan kemajuan teknologi, artinya masyarakat yang telah mencapai era industrialisasi dan kapitalisme hanyalah berhutang budi dalam perkembangannya dalam menghormati nilai-nilai Yahudi-Kristen, dan penerapannya dengan cara yang telah dipengaruhi oleh faktor-faktor humanisme dan liberalisme. Nilai-nilai ini menemukan kaidah-kaidah dasarnya dalam ideologi-ideologi dan teori-teori agama yang satu bentuk dalam jiwa kemanusiaan, persaudaraan, dan Kristus, "wasiat Tuhan" untuk memakmurkan bumi dan keutamaan-keutamaan. Hal itu seperti kerja keras, hemat, dan dana penangguhan.
Jelaslah sekarang bahwa kemajuan ekonomi di Barat hampir memusnahkan atau meracuni dirinya sendiri setiap kali mencapai kesuksesan. Karena, setiap kali taraf kehidupan meninggi dan kemakmuran bertambah, maka sistem ini berjalan menuju erosi fundamen-fundamen yang sampai saat ini masih mampu meneguhkan pilar-pilar pendukungnya.
Dalam proses ini, nilai-nilai yang telah mengakar menuju penyimpangan. Bisa saja individu menuju alienasi diri (terasing), stabilitas menuju kekacauan, toleransi menuju marginalisasi nilai-nilai, keseimbangan menuju memegang teguh tradisi, kemakmuran menuju pemujaan materi, kerja keras menuju konsumerisme berlebihan, hemat menuju gila kerja, kompetisi menuju persaingan abadi, perasaan menuju kegelisahan, persaudaraan menuju keseluruhan, persamaan menuju perendahan, rasa percaya kepada Tuhan menuju rasionalisme yang butuh untuk disegerakan.
Singkat kata, aku menguraikan karakter-karakter asosiasi paradigma yang menyusupi dunia barat. Dan, aku mempertanyakan seandainya instrumen-instrumen demokrasi kita menikmati kedinamisan dalam menghadapi perubahan-perubahan ini? Apakah Barat menjadi korban keelastisannya sendiri?
Ketika para direktur penerangan "pemberani" yang sedang mengelilingi meja tidak mampu menjawab, mereka dilanda kesunyian yang panjang dan menyulitkan. Mereka tidak berjanji untuk mendengar analisis problem hubungan masyarakat yang menjadikan penguasaan atas kebobrokan agama di Barat sebagai topik utama.
Salah seorang wakil mengumpulkan keberaniannya, dan bertanya apa ada kesempatan agama bangkit kembali di Barat? Aku menjawabnya, aku tidak melihat kesempatan yang memungkinkan bahwa gereja-gereja saat ini memanfaatkannya untuk mengembalikan kepercayannya di hadapan generasi muda. Aku juga menafikan kemungkinan pembentukan ideologi baru yang bersandar pada instrumen-instrumen sosiologi semata.
Kutambahkan, "Sebagaimana kubuktikan dakwaan apa yang dituduhkan terhadap 'gereja-gereja pemuda rahasia' dan kelompok-kelompok pemuda, maka sebenarnya generasi ini merasakan kebutuhan yang mendesak terhadap pilar-pilar ideologi dan agama. Harapan ini masih hilang pada saat ini --karena pemuda masih pesimis terhadap alternatif-alternatif Marxisme dan aliran figur legendaris. Bersamaan dengan itu, maka tidak jauh bila kebutuhan mendesak akan pengamalan agama menemukan sesuatu yang pernah mereka rasakan. Mereka menemukan terapi penyembuhan dari kejahatan-kejahatan materialisine, pengikat rasa persaudaraan, penghapus lapisan otoritas keagamaan (Kristen), dan yang mampu dengan kewajarannya bahwa yang menjadi agama fitrah adalah Islam."
Para peserta konferensi menganggap apa yang kusampaikan tadi sebagai guyonan walaupun aku sendiri tidak main-main.
Wanita Menurut Islam
(Luterzbach, 24 Desember 1984)
Para pemuda muslim Jerman yang baru saja memeluk Islam berkumpul di Darul Islam, sebagai persiapan untuk menunaikan ibadah umrah. Situasi tampak tegang karena Kedutaan Arab Saudi belum memberikan visa masuk untuk beberapa wanita. Alasannya, mereka belum bersuami atau tidak di dampingi mahram, karena orangtua dan saudara-saudara mereka belum memeluk Islam.
Penolakan pemberian visa masuk mereka oleh pihak Kedutaan Arab Saudi didasari kekhawatiran pergaulan bebas antara pria dan wanita.
Juga karena manasik haji dan umrah tidak membolehkan keikutsertaan wanita lajang selama tidak di dampingi oleh mahram. Kaidah tersebut mempunyai alasannya sendiri mengingat kondisi yang sulit dalam hal transportasi, konsumsi, dan iklim sewaktu haji. Adapun situasi zaman sekarang, kaidah dasar ini kehilangan salah satu rukun terpentingnya --para pakar fikih zaman dulu belum memprediksikan adanya seorang wanita sendirian yang akan berangkat haji dalam keluarganya.
Kementerian Luar Negeri Arab Saudi --berkat bantuan Muhammad Shiddiq al-Duubah, seorang imam yang kini berkewarganegaraan Jerman dan pernah belajar di Madinah--berhasil menemukan jalan keluar dari krisis ini dengan memberikan izin kepada sebagian calon haji wanita yang sudah lanjut usia, setelah beberapa kali penundaan untuk bergabung dengan jemaah di Mekah.
Orang-orang nonmuslim seperti biasa tidak yakin akan kemungkinan pemberian izin bagi wanita untuk masuk ke dalam masjid atau pergi haji. Bahkan, seseorang kadang-kadang menemui orang-orang yang mempercayai mitos tentang menurunnya gairah dan kebugaran wanita muslim.
Betapa jauhnya orang ini dari kebenaran. Aneh sekali mitos-mitos ini masih eksis, bahkan berhadapan dengan dalil-dalil yang menyingkapkan kesalahannya.
Sungguh wanita dalam Islam tidak hanya menikmati kegairahan saja. Ia berdiri berdampingan dengan pria dalam posisi yang sama menurut agama. Karenanya, wajib baginya jika mampu melaksanakan ibadah haji. Jika benar bahwa wanita tidak boleh bercampur dengan pria selama mendirikan shalat di masjid, maka situasi demikian mirip dengan posisi wanita Katolik yang duduk di barisan kiri bangku-bangku gereja.
Menurut David Lung, penyusun buku "Ibadah Haji Hari Ini" (Albania, New York, 1979), pada tahun 1972, jumlah umat Islam yang menunaikan haji mencapai
479.399 jiwa, sedangkan 170.864 jiwa, atau 34,6% diantaranya adalah wanita.
Di bidang-bidang yang lain seperti hukum --wanita telah menikmati--menurut syariat Islam sejak 1400 tahun yang lalu, kedudukan hukum yang tidak diperoleh oleh saudari-saudari mereka dari Eropa, kecuali dengan susah payah pada abad ke-20 ini.
Sebagai contoh mengenai nikah. Nikah menurut Islam tidak mengandung pengaruh negatif apa pun terhadap hak-hak milik istri. Hal itu karena, ia sendirilah yang bertanggung jawab dalam mengatur barang miliknya sebelum nikah, dan mendayagunakan dengan cara yang ia sukai. Sungguh, perbedaan antara barang milik suami-istri -sebagai ganti dari perlindungan suami--yang dianggap sebagai prestasi baru di Eropa telah mencerminkan kedudukan hukum dalam rentang waktu yang panjang dalam syariat Islam.
Jika benar bahwa anak lelaki mendapatkan bagian yang lebih besar daripada wanita dalam kasus waris, hal ini karena hanya suami yang dituntut untuk memberi nafkah keluarganya. Dan, jika sang istri tidak mampu menyusui bayinya, maka ia berhak memaksa suaminya untuk memakai jasa wanita pemberi susuan. Istri adalah pemilik keputusan akhir dalam pendidikan anaknya. Ia juga bisa menuntut talak dari suaminya.
Seorang wanita muslimah juga tidak terlarang --dari segi prinsip dasar--bekerja di bidang-bidang yang sesuai dan proporsional. Para muslimah tempo dulu ikut berperang sebagai pembantu dalam Perang Uhud (tahun 627 M). Bahkan, Siti Aisyah (istri Rasul) memimpin Perang Jamal (656M).
Ada beberapa topik yang terbuka untuk didiskusikan seputar persamaan wanita dalam Islam, walaupun aku yakin wajib atas si pengkritik melihat fakta-fakta yang aku tolak sebelum secara frontal menyerang Islam dengan dalih pembebasan wanita.
Mengapa Para Sufi Tergelincir
(Aschaffenburg, 26 Desember 1984)
Idris Shah menyadari, sama halnya dengan para sufi bahwa hanya dengan membaca buku-buku (tentang sufi, pen.) tidak membuka pintu bagi seseorang untuk berjalan di jalan tasawuf. Namun demikian, ia berhasil menyusun buku demi buku yang bermanfaat tentang hikmah para Darwisy dan Majusi. Tulisannya juga mampu menyingkap tarekat-tarekat tasawuf yang terkenal melebihi susunan para pakar sejarawan tasawuf, khususnya buku "Dimensi-dimensi Tasawuf dalam Islam" (Shebi Hall;1975) karangan orientalis Barat spesialis bidang ini, Prof. Annemarie Schimmel (guru besar Universitas Bonn dan Harvard).
Sungguh bisa dianggap baik, pendapat yang mewajibkan agar para pengkaji tasawuf bersikap skeptis total terhadap Allah dalam validitas logika manusia, dan pemikiran rasional sebagai instrumen untuk pengetahuan metafisika. Pada saat yang sama, maka pintu masuk yang buntu bukan alternatif masuknya lorong buntu. Dan, menerima bahwa penggunaan pendekatan rasional untuk memecahkan problematika alam wujud tidak representatif, tidak lain berarti penggunaan pendekatan irasional menjadi lebih banyak.
Sebaliknya, konsep tasawuf tidak berhasil pada bidang yang intuisi gagal mencapainya. Karena konsep tasawuf, pada gilirannya, tidak lain daripada hasil produk pengetahuan intuitif.
Tidak ada manfaat yang bisa diharapkan dari baik pengalaman yang cukup selama kita tidak mampu mengartikulasikannya dengan bahasa kita. Oleh karena itu, sampai suasana-suasana ilham yang timbul dari kalbu seseorang sufi tidak mungkin dibatasi, atau ditetapkan kejadiannya, kecuali dalam batas-batas kerangka sempit pemahaman-pemahaman kebahasaan yang bersumber dari pengalaman intuitif kita. Dengan ungkapan lain, jalan kesufian bukan alternatif sama sekali.
Tidak ada jalan di hadapan kita di luar batas-batas instrumen intuisi kita. Juga tidak ada rasional atau irasional yang lepas dari intuisi. Juga tidak ada ilham yang bebas dari asosiasi-asosiasi makna yang terbatas sebelumnya --yang timbul dari kosakata-kosakata bahasa yang kita buat sendiri.
Walhasil, tidak ada jalan untuk meneliti hakikat fundamental tentang sesuatu yang diyakini oleh seorang sufi bahwa ia benar-benar melihat dengan mata batinnya atau ia mendengar dengan telinga batinnya. Para sufi berasumsi bahwa mereka mampu menyingkap para dajjal dengan mudah, dan manusia pada umumnya. Sambil dituntut untuk menyingkap obat penawar segala penyakit dan melihat keajaiban-keajaiban. Mereka membuat sendiri para penghubung mereka --sebutan terhadap wali-wali saleh di Maroko yang mampu menggantungkan gunting-gunting di atas kuburan mereka; jika para ahli hikmah karismatik muncul sebenarnya.
Keraguan yang berlebihan menjadi hal biasa setiap kali seorang sufi hendak menyatu (ittihad) dengan Allah. Karena hal ini bisa membawa dia pada waham (prasangka) wihdatul wujud dalam dirinya, sementara Allah, menurut Islam, Mahatinggi.
Sungguh, hal ini termasuk syirik yang bersandar pada konsep wihdatul wujud yang timbul dari keinginan manusia, karena bersatu dalam tataran ilahiah sebelum waktunya, cukup membangkitkan kekhawatiran. Lebih buruk lagi, para sufi berasumsi bahwa sebagian mereka --dengan mendisiplinkan diri pada tarekat yang benar dalam beribadah--mampu mencapai makrifat lewat ilham khusus dengan cara yang lebih utama daripada wahyu Allah yang diturunkan kepada para nabi. Ini adalah bentuk ekstrem yang bisa meningkat ke taraf kekufuran.
Sungguh, pria dan wanita --sebagaimana diciptakan oleh Allah yang Mahasempurna--bukanlah robot, bangunan rusak, atau instrumen yang diliputi kekurangan fitrah. Manusia memiliki kelebihan atas hewan dengan akalnya. Maka, bagaimana bisa dibayangkan bahwa ia mampu beribadah kepada Allah dengan cara yang lebih baik, jika ia mengutamakan irasional atas rasionya?
Aku tidak mampu meyakini bahwa Al-Qur'an diturunkan untuk memberi manfaat kepada manusia, dan bisa menjadi suatu risalah misterius yang diliputi rahasia-rahasia yang diketahui oleh segelintir sufi.
Dan apakah islami, jika beranggapan bahwa Islam adalah sebuah agama moderat yang hanya dikhususkan untuk kalangan aristokrat agamawan saja?
Dalil Injil
(Gelsenkirchen, 4 Februari 1985)
Shahib Mustaqim Balkhair, dalam karyanya yang berjudul "Dalil Injil" (Fellar Swaist, 1984) berhasil mengumpulkan teks-teks yang terdapat pada Perjanjian Lama dan Baru yang menunjukkan keautentikan Al-Qur'an, secara umum dan kebenaran risalah Nabi Muhammad saw secara khusus.
Hanya sedikit para muslim Barat kontemporer yang menggeluti proyek kajian perbandingan antara Injil dan Al-Qur'an. Itu adalah di luar kesanggupan Islam atau Kristen dalam membongkar teologi agama lain, seperti yang selalu dilakukan oleh Prof. Hans Kung --para teolog Kristen, seperti Adolf Von Harnack, Adolf Slater, Paul Schwartznow mengakui bahwa Al-Qur'an mengandung penjelasan paling autentik tentang kedudukan, peran, dan karakter Almasih. Karenanya, Al-Qur'an mengingatkan umat Kristen akan masa lain mereka.
Tampaknya, hanya ada satu hubungan antara Perjanjian Baru dan Al-Qur'an yang menyibukkan pemikiran para muslimin Barat, yaitu ramalan akan risalah Muhammad saw dalam Injil Yohana (16:14), (13:166). Umat Islam setuju -juga disetujui oleh Prof. Hans Kung--bahwa bacaan yang benar terhadap ayat-ayat tersebut adalah Periklytos (berarti 'Ahmad' dalam Bahasa Arab) bukan Parakletos menyiratkan kedatangan nabi lain setelah Almasih dan nabi itu adalah Muhammad saw.
Penting untuk disebut, kesepakatan bahwa kata Parakletos (yang terdapat dalam Injil Yohana 26:14) [6] tidak menunjuk pada roh kudus. Tampak dengan jelas kontradiksi antara teks Injil Yohana (13:16) [7] dan yang terdapat dalam cetakan-cetakan Injil yang lain, semuanya menafsirkan roh kudus. Hal ini terjadi akibat pengaruh konsepsi Helenisme dan Gnostisisme yang merembes ke dalam teks Injil --yang tentu saja diragukan keautentikannya. Injil-injil juga itu tidak cukup terjebak dalam distorsi yang dilakukan oleh pakar-pakar teologi Kristen. Adalah hal logis, jika pertanyaan berikutnya dimulai dengan, bukankah cukup bagi kita Al-Qur'an sempurna dan pembenar? Apakah para nabi membutuhkan dalil khusus menurut hawa nafsu mereka? Dan apakah bermanfaat kita memperkuat Al-Qur'an dengan dokumen-dokumen seperti kebanyakan Injil-injil, khususnya Injil Yohana, yang ia sendiri sangat membutuhkan orang yang menjustifikasi keautentikannya?
[6] Ayat tersebut adalah, "Dan aku memohon dari tuhan Bapak, lalu Ia menganugerahkan kalian seorang penghibur yang agar ia tinggal bersama kalian abadi selamanya." (16:14)
[7] Ayat tersebut yaitu, "Adapun tatkala datang ruh Al-Haq maka ia menunjuki segenap kebenaran kepada kalian karena ia tidak bicara dari dirinya sendiri akan tetapi segala yang ia dengar, ia bicarakan dan ia beritakan dengan perkara-perkara ayat-ayatnya." (13:16)
Rasionalisme, Kebebasan, dan Cinta
(Brussel, 7 Februari 1985)
Marcheile H. Boisot, lewat artikelnya yang berjudul "Sistem Nilai Barat: Sebuah Senjata Etika"--dalam harian Akademi Militer Eropa di Luxemburg, edisi 3/84--berhasil menciptakan kesuksesan mencengangkan dalam menguraikan inti problem. Ia melakukan analisis terhadap situasi sistem nilai Barat kontemporer. Dia mengakhiri artikelnya dengan kesimpulan bahwa peradaban-peradaban selalu berjalan menuju krisis jika mengizinkan, seperti yang dialami Barat sekarang, karena goncangnya tiga nilai utama: rasionalisme, kebebasan, dan cinta.
Kebebasan yang tidak didasari cinta bisa berubah menjadi kekacauan. Rasionalisme yang tidak didasari cinta akan berakhir dengan timbulnya kebakaran. Cinta yang tidak dibarengi rasionalisme bisa menghancurkan dirinya sendiri. Rasionalisme yang kosong dari kebebasan berubah sifatnya menuju "Kepulauan Gulag." [8]
Anda tinggal mengganti term "cinta" dengan ukhuwah, menghormati ilmu pengetahuan sebagai ganti rasionalisme, kehormatan individu sebagai ganti dari kebebasan, agar Anda mengetahui mengapa peradaban Islam yang hakiki mampu menghindari instabilitas yang kini menimpa nilai-nilai fundamental Barat.
Hari ini, di kantor NATO, aku membagikan naskah-naskah artikel ini kepada para pejabat Konferensi Pers Nasional, sambil menganjurkan mereka agar melupakan --walau sejenak--kesibukan-kesibukan mereka. Hal itu agar mereka merenungi kewajiban mereka dalam jangka panjang, yaitu menghadapi revolusi kebudayaan yang bisu yang hampir-hampir kita tidak merasakannya. Dan, ia sedang merayapi fondasi sistem nilai Barat.
[8] Cerita Solgestein yang masyhur tentang tahanan politik yang mengalami penyiksaan yang sangat kejam pada masa rezim Soviet yang lama
.
Seandainya Tuan Hakim Tidak Mempermainkan Kata-kata
(Brussel, 8 Februari 1985)
Ketika orang-orang Kristen terperosok ke dalam jurang kekeliruan dalam upaya pembelaan rasionalitas doktrintrinitas. Pertama, mereka menempuh jalan permainan bahasa, kemudian berakhir dengan berubah pikiran sambil beralasan bahwa trinitas adalah rahasia dan karenanya sangat sulit untuk diinterpretasikan.
Seputar topik ini, seorang reporter harian Frankfurt Zeitung, hari ini dalam rubrik "Catatan Buat Editor", menurunkan sebuah esai kecil yang ditulis oleh Dr. Gerhard Muller, mantan Kepala Pengadilan Tinggi Buruh di Jerman. Esai itu menyebutkan bahwa Almasih memiliki karakter yang bercampur. Artinya, setengah tuhan, setengah manusia, dan hubungan antara tuhan dan manusia (dalam diri Almasih) adalah model unik yang menyebutkan tidak seorang pun manusia menemukan bandingannya dalam sejarah agama-agama --tuan Muller telah melakukan kesalahan karena berdalil dengan revivalisme yang tidak mungkin dihubungkan dengan sesederhana ini.
Muller mengatakan bahwa Almasih selalu dikenal bahwa dialah tuhan, karena statusnya sebagai anak tuhan yang mendahului wujudnya, ia selalu mencerminkan Allah, dan ia senantiasa adalah tuhan ketika menerima sifat kemanusiaan dari Maryam. Artinya, dengan perantara roh tuhan. Peristiwa ini meningkat sampai dianggap sebagai permulaan baru kemanusiaan yang perjalanannya diungkap oleh Almasih dengan cara yang pasti.
Begitulah, seandainya saja tuan yang mulia mampu menghadapi dorongan keutuhan kalimat-kalimat yang tidak bermakna sama sekali --apa tidak wajib bagi umat Islam berutang kepadanya dengan propaganda besar yang tidak terarah ini?
Apakah tidak lebih utama (dan lebih mulia) seseorang mengumumkan kebangkrutan intelektualnya ketika dihadapkan pada interpretasi konsep trinitas?
Tidak syak lagi, lebih baik tuan kepala pengadilan menyerap sedikit saja dalam sejarah yang bagus tentang konsep trinitas, baik itu Izis, Osiris, dan Horis. Atau dari Tuhan Bapak, Maryam, dan Almasih atau dari Tuhan Bapak, Kalimat Tuhan, dan Almasih.
Dalam keadaan seperti ini sebaiknya tuan Muller mengakui --seperti yang dilakukan Paus Yohanna, Paus Paulus, dan Deonisius sebelumnya--bahwa ia telah menyerahkan dirinya dalam permainan kata-kata yang dimunculkan pertama kali oleh seseorang, misalnya, Plato dan penganut aliran Gnostisisme.
Adalah naif pernyataan "rahasia-rahasia agama" sangat tinggi hingga tidak bisa diinterpretasikan.
Namun, tidak ada yang menahan kita secara mutlak, jika kita menetapkan permulaan sesuatu. Jika masalahnya bergantung pada rahasia, atau seperti dalam keadaan trinitas: buatan akal manusia.
Telah lewat masa saat agama Kristen bisa mengambil manfaat dari konsep trinitas, terlebih jika disebarluaskan di kalangan bangsa-bangsa yang mempercayai tingkatan piramida tuhan-tuhan.
Adapun hari ini, maka sungguh konsep trinitas tidak lebih dari beban terhadap agama Kristen.
Demokrasi Islam
(Brussel, 14 Februari 1985)
Orang-orang Saudi sering dituduh sebagai fundamentalis fanatik. Tuduhan ini tampak mengada-ada, jika dilihat usaha-usaha mereka dalam memerangi khurafat dan dekadensi moral.
Karena itulah, Pemerintah Saudi meratakan dan menutup makam Siti Hawa di Jedah untuk umum. Mereka juga memberantas meminta-minta pada kuburan di Baqi', Madinah.
Tuduhan-tuduhan ini aneh sekali jika dilihat usaha mazhab Wahabi dalam memperbaiki tradisi-tradisi yang ada di Mekah.
Sebagaimana diketahui secara mendetail dari buku Henrich Von Maltsan, "Perjalananku Menuju Mekah". Ia berhasil menyusup ke Kota Suci, tahun 1860 bahwa Mekah adalah sarang opium, ganja, dan pencuri.
Akhirnya, bagiku tampak aneh bila melihat gaya hidup rakyat Saudi yang sangat berkeinginan keras memegang teguh ajaran-ajaran mereka, seperti yang telah dilakukan oleh umat Kristen zaman dulu. Dan, "fundamentalisme fanatik" berarti hilangnya basa-basi dan kemunafikan, maka ini adalah benar karena memang terdapat fundamentalisme semacam ini, di Saudi, dan mereka harus bangga dengan kefundamentalisannya.
Mungkin mereka memahami bahwa kemajuan, dalam kondisi tertentu, seperti kondisi kita akhir-akhir ini, kadang-kadang menuntut untuk mengambil suatu model percontohan yang telah teruji dan terbukti kebenarannya di masa silam. Sikap ini yang mencerminkan proteksi yang konstruktif adalah suatu sikap yang layak dihormati di Barat, dengan syarat orang yang berpegang teguh itu bukan orang Islam.
Tidak syak lagi bahwa bukan suatu langkah mundur bila membela orang yang berpendapat bahwa solusi problematika sosial yang ditempuh Muhammad saw dan Khulafa ar-Rasyidin bisa dirujuk kembali sebagai model yang patut diteladani dalam memecahkan problem-problem masyarakat pasca-revolusi industri. Dan bukanlah bersahaja mengambil sikap negatif seperti yang dilakukan sebagian para filosof dan teolog metafisika dengan gaya yang digariskan oleh aliran filsafat Asy'ariyah (874-933 M).
Apakah kritik mendasar terhadap konsep ilmu wujud yang berbau filosof dan metafisika ini dianggap primitif hanya karena ia datang sebelum David Heom, Immanuel Kant, dan Ludwig Fitgenstein, beberapa abad yang lalu?
Kita tinggal mengatakan walaupun para pengkritik fundamentalisme Islam di Barat telah memfokuskan pada sikap Islam terhadap demokrasi parlementer yang pluralistik ala Barat. Sesungguhnya, mereka pura-pura tidak mengetahui kenyataan bahwa banyak orang-orang Liberal dan Marxis Barat hidup di negara kerajaan konstitusional tanpa kedudukan hukum khusus yang dinikmati oleh agama Kristen di negara-negara ini yang tidak membuat tidur hati mereka, walaupun hal itu bukan feodalisme. Sementara, Islam tidak memaksakan hukum otokratisme keagamaan.
Tidaklah benar sama sekali isyarat bahwa sejarah Islam bukan sejarah perkembangan demokrasi.
Selama orang-orang Kristen menderita akibat kejahatan "hakim-hakim yang mendapat wangsit", "raja-raja yang tercerahkan", "orang-orang arogan yang takut kepada Tuhan" dan yang bergelar "bayangan Tuhan di muka bumi". Umat Islam juga banyak menderita akibat hukum sultan-sultan yang tiran dan amir-amir jahat yang despotis.
Sebenarnya, kita bisa menganggap sejarah konstitusi Islam sebagai kisah perjuangan yang panjang antara ide yang membebaskan, yakni hukum Al-Qur'an yang memutuskan hukum di atas nilai-nilai keadilan dan persamaan serta melindungi dari kekuasaan status quo yang keji, despotis, dan keji. Hal inilah yang mendorong Prof. Karl C. Newman untuk mempertanyakan di harian Frankfurt Zeitung: apakah hari ini ada suatu negara yang tidak diktator di kolong langit ini?
Adalah kenyataan bahwa Islam senantiasa memberi sumbangan terhadap kemanusiaan dengan mengajukan satu bukti yang kuat bahwa negara Islam kontemporer demokrasi bernuansa agama --ala al-Maududi--bisa saja dibumikan bukan hanya dalam teori tapi dalam praktik. Sebuah konstitusi yang ditegakkan atas dasar partisipasi dan kemitraan, yang bersumber dari Al-Qur'an dan dokumen hak-hak asasi manusia (HAM).
"Katakanlah, 'Tidak Akan Menimpa kepada Kita Kecuali Sesuatu yang Telah Digariskan Allah kepada Kita'..."
(Brussel, 25 Februari 1985)
Orang-orang yang berprofesi, selain diplomat, tidak mengalami beratnya gelombang serangan teroris sebesar yang dialami para diplomat karena dua perjanjian terdahulu. Karenanya, mereka banyak menerima saran para agen keamanan tentang bagaimana cara menghindari bom ketika berada di dalam mobil, ketika terjadi penculikan atau penembakan.
Jika aku mengikuti semua saran mereka, maka jaminan keselamatanku adalah usaha ekstra ketat selama 24 jam sehari. Dan, ini sungguh pekerjaan sia-sia.
Dengan ketololan ini, sebenarnya aku tidak dapat memperpanjang ajalku walau sedetik. Keselamatan dengan segala keajaibannya dan peluru yang ditakdirkan mengenai kepalaku tidak mungkin meleset.
Hal ini bukan berarti seorang muslim tidak perlu mengenal kelebihan pistol model Heckler dan Colt B 7/14, serta tidak menjadi penembak yang jitu. Namun, pada saat yang sama, dia tidak boleh punya prasangka bahwa hari-harinya tidak dihitung. "Sesungguhnya kita adalah milik Allah dan kepada-Nya kita kembali." (al-Baqarah:156) "Sesuatu yang bernyawa tidak akan mati melainkan dengan izin Allah, sebagai ketetapan yang telah ditentukan waktunya...." (Ali lmran:145).
Izin Allah tampaknya belum menghampiriku tatkala bom-bom Amerika dan Inggris berjatuhan, lalu meledak di kotaku, tiap dua pekan sekali sewaktu Perang Dunia II berkecamuk. Izin Allah juga belum tiba, ketika aku selamat dari kecelakaan mobil di daerah Mississippi, pada tanggal 28 Juni 1951. Juga belum tiba, setelah 14 hari dari peristiwa itu, tatkala orang gila di Tennessee melepaskan peluru yang menembus kaca jendela gerbong kereta api yang kutumpangi, hanya meleset beberapa inci dari kepalaku di tengah-tengah perjalanan pulangku menuju Washington DC.
Izin Allah juga belum tiba untuk berpulang kepada-Nya, ketika para dokter menemukan tumor di ginjal kiriku, pada tahun 1976, saat aku bertugas sebagai Duta Besar di Jedah.
Ajakan
(Brussel, 9 Maret 1985)
Dalam Pameran Buku Internasional ke-17 di Roger Center, Brussel. Dalam pameran itu yang menjadi perhatian khalayak adalah buku-buku berbahasa Prancis dan Belanda. Namun begitu, aku tetap optimis ketika mencari buku baru tentang sastra Islam. Seorang petugas di bagian informasi dekat pintu masuk menunjukkan stan "islamiat" di dalam gedung yang khusus menjual buku-buku mengenai perkara-perkara ilmu klenik dan astrologi. Di antaranya buku-buku tentang para Darwisy yang pusing dan humor-humor karya Nashrudin Khoja. Aku hanya mendapatkan sedikit buku terbitan Dar el-Maktabah al Islamiyah, Koln.
Ini sungguh merupakan fenomena yang menyedihkan, jika melihat persaingan keras dengan kekuatan-kekuatan misionaris lainnya. Persoalannya bukan hanya hadirnya negara-negara komunis, akan tetapi terdapat banyak sekte-sekte Kristen, seperti sekte Piala Suci. Dan sekte Heretic muslim, seperti pengikut Dr. Dahisy [9], grup-grup astrologi dan golongan penganut penyelewengan seksual yang menguasai satu lantai penuh, di Roger Center. Sebagian wanita Belgia penganut aliran Bahaisme berhasil menarik perhatian massa lewat jargon yang diteriakkan Frederick Scheller dan Ludwig Van Bethoven: "saling berpelukanlah wahai jutaan manusia."
Apakah umat Islam membutuhkan fantasi, jiwa petualangan, dan kecakapan berorganisasi seperti yang ditampakkan aliran Bahaisme? Ataukah tidak etis jika Islam muncul berdampingan dengan aliran-aliran pinggiran yang skeptis, yang ajaran-ajaran sesatnya disebarkan secara rahasia --seperti yang dilakukan gereja Katolik di sini?
Sebenarnya Islam tidak membenarkan propaganda yang terprogram dan penuh permusuhan seperti ini. Islam meletakkan kepercayaannya pada kekuatan daya tarik terhadap sistem hidup ideal yang mesti dijalani seorang individu muslim.
Gaya propaganda Kristen Katolik itu, tidak sesuai dengan Islam. Karena Islam memformatkan dirinya sebagai ajakan yang terbuka dan sebuah risalah yang sangat kaya
Ini adalah sikap yang mesti disadari bagi orang yang beriman kepada Allah Yang Maha Esa. Ia akan memberikan hidayah ke jalan yang lurus kepada siapa saja dan dengan cara apa saja yang ia kehendaki.
Bepijak atas dasar ini, maka tidak ada tempat buat mengobral Islam di sudut-sudut kaki lima, walaupun disadari bahwa iman adalah satu persoalan dan takdir adalah persoalan lain. Karena seyogianya, seorang muslim menyadari hakikat bahwa Allah SWT adalah Pencipta segala sesuatu. Sebagai konsekuensi, ia wajib untuk tidak ragu bahwa ia adalah bagian dalam hubungan kausalitas yang menuju mengimankan tetangganya.
Ia juga wajib menegakkan "shalat perpisahan" --seakan sebentar lagi akan mati. Pada saat yang sama, ia merenung dan beramal seakan-akan ia akan hidup lima puluh tahun lagi.
Dalam konteks ini umat Islam bisa belajar dari filsafat Marxist tentang "determinisme materialisme historis" yang menjadi penghambat sikap-sikap negatif. Sehingga, datanglah Lenin menginfus komunisme dengan revolusi Bolsyevik, ketika krisis partai mendukung untuk memobilisasi gerakan sejarah dalam merealisasikan tujuan-tujuan dalam rangka menyebarkan paham komunisme yang integral ke seluruh dunia.
Karenanya, umat Islam seyogianya menyebarkan dakwah semaksimal mungkin.
Pemikir Lebanon yang mengaku nabi.
Catatan Pelanggaran
(Brussel, 11 Maret 1985)
Dalam sebuah jamuan makan malam diplomatik, ada seorang wanita Spanyol yang mengetahui bahwa aku seorang muslim. Dengan takjub, ia menoleh kepadaku seraya berkata, "Oh, jadi Anda ini seorang dari mereka yang selalu menanti kelahiran Allah!"
Segera aku menyadari betapa suksesnya propaganda Kristen setelah pengambilan Spanyol dalam mendistorsikan gambaran Islam. Aku memilih diam, kemudian aku sempat berpikir untuk membacakan salah satu ayat dari surat al-Ikhlas kepadanya, "Allah tidak beranak dan tidak pula diperanakkan."
Sebagai gantinya, aku segera mengganti topik dengan mengatakan, "Sungguh justru inilah satu-satunya yang.tidak ditunggu-tunggu oleh umat Islam." Bukankah aku pernah belajar etika bahwa tidak layak membicarakan persoalan politik, agama, dan kesehatan dalam jamuan makan?
Empat Burung Bulbul dari Istambul
(Brussel, 31 Maret 1985)
Group paduan suara lagu-lagu gereja Protestan yang terletak dekat istana raja akan menggelar sederetan demonstrasi musik suci agama-agama besar dunia. Yang menarik acara ini, yaitu pengambilan tema Hugo Paul: seni sungguh lebih dekat kepada agama daripada ilmu.
Hari ini kami akan menyaksikan pergelaran group tamu "para muazin Turki" yang akan membacakan ayat-ayat suci Al-Qur'an dan kasidah-kasidah Sulaiman Sulaibi (abad ke-14 M) dalam bahasa Turki yang berisi beberapa penggalan dari perayaan Maulid Nabi oleh sekte Hanafiyah.
Di awal acara, panitia pelaksana menjelaskan kepada kami akan perbedaan antara musik dan alat bagi para sufi, dengan dendang kasidah oleh para imam yang menitikberatkan pada keserasian suara dan langgam lafal terhadap ayat-ayat Al-Qur'an. Ia menutup pembicaraannya sambil meminta agar kami tidak bertepuk tangan karena tidak mungkin untuk memisahkan irama musik agama dengan isinya, yaitu berdoa dengan penuh kerendahan diri.
Keempat burung itu dengan keistimewaan suara mereka yang tinggi, jelas, dan penuh penghayatan, berhasil menarik simpati. Mereka meninggalkan kesan yang mendalam pada jiwa khalayak, berkat penampilan mereka yang menghanyutkan, dan penuh penghayatan. Dua unsur inilah yang paling indah dalam alam seni Islam.
Pada saat yang sama, aku dihinggapi perasaan tidak enak. Karena, apakah layak mengeksploitasi keindahan lantunan Al-Qur'an hingga seorang bisa menikmati dan mengapresiasikan saja? Artinya, seni hanya untuk seni saja!
Bukankah Freidrich Neitsze jujur sampai batas terjauh dalam perasaannya ketika ia menulis "Kelahiran Tragedi" bahwa agama Kristen yang benar menafikan semua nilai-nilai estetika?
Setelah orang-orang mendengar dua kata Allah dan Muhammad yang sering diulang penyebutannya, apakah ini tidak memperkuat opini mereka yang salah bahwa umat Islam, dikiaskan oleh orang Kristen, sebagai Muhammadisme?
Bukankah orang-orang Wahabi tidak benar ketika mereka menentang dalam melagukan dua panggilan shalat, azan, dan iqamat? Apakah hari ini kita sampai pada batas mengedepankan seni dan mengebiri shalat, ketika seni menjadi penghalang shalat?
Cinta Persaudaraan sebagai Pengganti Ukhuwah
(Jumat duka, 5 April 1985)
Bisa diterima bila dua harian Frankfurt Zeitung dan De Flit menyediakan rubrik khusus tentang ajaran Kristen pada Hari Paskah. Akan tetapi, tidak mungkin melewatkan dua harian tadi dengan begitu saja, karena di sana disinggung bahwa agama Islam adalah agama yang paling cepat tersebar di seluruh tempat.
Sungguh sayang kesempatan ini lewat begitu saja tanpa penjelasan titik temu antara tiga agama besar: Yahudi, Kristen, dan Islam. Karl Alfred Odin menulis, "Sungguh yang memisahkan ketiga agama besar itu adalah konsep pemahaman tentang Tuhan. Tuhan adalah cinta kasih menurut versi Kristen," (Frankfurt Zeitung, 4 April).
Adalah tepat Odin menggunakan istilah "versi" karena inilah istilah yang lazim dipakai, tidak lebih dari itu. Walaupun di sisi lain, ia tidak benar dalam menggunakan beberapa istilah yang terdapat dalam artikelnya, "Sesungguhnya tuhan dengan kematiannya di tiang salib --merupakan simbol segala penderitaan manusia--telah menyelamatkan kemanusiaan setelah menanggung beban derita ini."
Dengan segala kebersahajaan, kita dapat mengatakan bahwa "Tuhan adalah cinta kasih" menurut Kristen, atau dapat dikatakan Allah yang Maha Pengasih lagi Penyayang atau bukan tuhan sama sekali.
Analisis pemahaman kata "cinta kasih" menampakkan semua persoalan menurut hakikatnya. Manusia menghubungkan cinta kasih dengan keinginan mereka dalam mengorbankan diri mereka kepada orang lain, lalu menyatu dengannya. Cinta kasih yang kuat membutuhkan respon, yaitu cinta kasih umpan balik. Pada saat masing-masing pecinta memandang bahwa dia adalah bagian dari pasangannya, maka keduanya saling mempengaruhi sifat-sifat utama kepada yang lain. Keduanya saling membutuhkan. Cinta keduanya tidak bisa dilukiskan dengan kata-kata.
Yang jelas bahwa penyifatan Tuhan sebagai "cinta kasih" tidak mungkin dijelaskan dengan cara seperti ini. Jika tidak, maka Zat Yang Mahamulia lagi Sempurna, Yang Mahaada, Mengatur lagi Kaya tidak lagi menjadi diri-Nya.
Sungguh sangat kufur, jika Anda beranggapan bahwa Tuhan tanpa Anda atau tanpa ciptaan-Nya, dapat mengurangi kekuasaan-Nya. Hal itu karena Allah ada sebelum segala zaman dan segenap makhluk. Ia Mahasempurna.
Karenanya, cinta kasih Tuhan kepada hamba-hamba-Nya tidak mungkin digambarkan, kecuali dengan pemahaman sebagai hubungan tidak seimbang yang tidak mengurangi kekuasaan-Nya sedikit pun yang tercermin pada zat-Nya, sejak azali. Dengan konsep seperti ini, maka Allah bisa menjadi Mahamulia, Pengasih lagi Penyayang terhadap makhlukNya, jika Ia menghendaki. Dia juga bisa Mahaadil dan Mahahebat siksa-Nya, jika memang itu kehendak-Nya.
Ketika umat Kristen mengatakan bahwa Tuhan adalah cinta kasih, mereka tidak mengatakan bahwa Ia adalah "tuhan bapak" melainkan Almasih. Dengan kapasitasnya, sekaligus sebagai manusia, ia menjadi korban, bahkan mengorbankan dirinya sendiri demi saudara-saudaranya walaupun Allah menerima segala bentuk pengorbanan, namun Ia Mahakaya dari hal-hal semacam itu. Dan karenanya, maka kebutuhan kepada mengorbankan dirinya sendiri (Almasih) --atau bagian dirinya--untuk diri-Nya bertentangan dengan karakter ketuhanan bagi orang yang menamakan-Nya sebagai Yehovah, Tuhan atau Allah. Allah bebas memaafkan jika ia berkehendak tanpa syarat atau prosedur apa pun.
Umat kristen anehnya bangga dengan apa yang mereka namakan "lompatan modern" yang terwujud dalam konsep "cinta kasih" ini.
Pada hakikatnya konsep ini, jika dilihat dari kacamata filsafat dan teologi, dapat dianggap sebagai langkah mundur. Karena segenap kemajuan yang telah dicipta oleh para pemikir Yunani dan nabi-nabi Yahudi menjadi terancam oleh konsep Kristen tentang tuhan yang menjasad dalam nuansa-nuansa kemanusian. Umat Kristen sungguh telah menghapus keinginan-keinginan yang timbul dari ketakutan dalam konsep mereka tentang ketuhanan yang membantu mereka dalam membekukan rasa takut yang timbul dari memandang Tuhan secara langsung terhijab dari pandangan.
Dan, jika Almasih telah berhasil melakukan lompatan sejarah, maka hal itu timbul akibat wasiat yang ia tinggalkan bahwa seseorang hendaknya mencintai Allah dan tetangganya, sebagaimana mencintai dirinya sendiri.
Tapi mengingkari bahwa Islam juga mengandung wasiat yang sama adalah kepalsuan yang nyata. Sungguh, "cinta persaudaraan" dalam Kristen dan ukhuwah dalam Islam adalah dua hal yang berbeda.
Pergolakan Pemikiran: Catatan Harian Muslim Jerman oleh Murad Wilfred Hoffman Gema Insani Press, 1998 Jl. Kalibata Utara II No.84 Jakarta 12740 Tel.(021) 7984391-7984392-7988593 Fax.(021) 7984388 dikumpulkan dari posting sdr Hamzah (hamzahtd@mweb.co.id) di milis mailto:is-lam-subscribe@isnet.org
Tidak ada komentar:
Posting Komentar