(Ketika Kita Berbeda Pendapat )
Suatu hari Imam Malik menuju Masjid
setelah waktu Asar. Memasuki Masjid Nabawi Imam Malik kemudian duduk.
Rasulullah SAW telah memerintahkan bahwa apabila seseorang masuk masjid
sebaiknya melakukan shalat dua rakaat (Tahiyyatul Masjid) sebelum duduk,
sebagai penghormatan terhadap masjid. Sementara itu juga Imam Malik mempunyai
pendirian bahwa Rasulullah SAW juga melarang shalat setelah melakukan shalat
Asar. Dengan demikian Imam Malik ingin memberikan pelajaran kepada
murid-muridnya bahwa tidak melakukan shalat tahiyyatul masjid jika mereka
memasuki masjid diantara waktu Asar dan Magrib. Akan tetapi ketika Imam Malik
duduk, seorang muridnya melihat bahwa beliau tidak melakukan melakukan dua
rakaat Tahiyyatul Masjid terlebih dahulu. Murid tersebut mengingatkan,
“Berdirilah dan lakukan shalat dua rakaat” Dengan patuhnya Imam Malik berdiri
dan melakukan shalat 2 rakaat. Murid tersebut heran sembari bertanya dalam hati
“Apa yang terjadi? Apakah Imam Malik sudah merubah pendiriannya?” Setelah Imam
Malik menyelesaikan shalatnya, murid tersebut bergeser mendekatinya dan
bertanya mengenai apa yang sudah dilakukan Imam Malik. Imam Malik menjawab
“Pendirianku tidak berubah, juga aku tidak akan merubah apa yang sudah aku
ajarkan sebelumnya. Kenapa aku melakukan shalat dua rakaat seperti perintahmu,
semata-mata karena aku takut kepada Allah, jangan-jangan aku termasuk orang
yang digambarkan pada ayat: “Dan apabila dikatakan pada mereka, ‘ruku-lah’
niscaya mereka tidak mau ruku” (Al Mursaalat - 77/48)
Imam Ahmad berpendirian bahwa makan
daging unta dapat membatalkan wudhu, suatu pendirian yang berbeda dengan
sebagian besar murid-muridnya. Beberapa murid bertanya padanya “Jika engkau
menjumpai seorang Imam memakan daging unta dihadapanmu – dan tanpa terlebih
dahulu berwudhu kemudian melakukan shalat, apakah engkau akan mengikuti
dibelakangnya?” Imam Ahmad menjawab, “Apakah engkau pikir aku tidak akan
melakukan shalat dibelakang imam seperti Imam Malik dan Said bin Al Musayyab?”
Allah menciptakan manusia berbeda-beda. Hal ini merupakan hukum penciptaan. Diluar dirinya seorang manusia, berbeda dalam bahasa, warna kulit, budaya … Sementara didalam dirinya seorang manusia diciptakan berbeda dalam tingkatan pengetahuan, intelektualitas, dan wawasan berpikirnya. Semua itu merupakan tanda-tanda kekuasaan Allah yang sesuai dengan kehendakNya : "Dan diantara tanda-tanda kekuasaanNya ialah menciptkan langit dan bumi dan berlain-lainan bahasamu dan warna kulitmu. Sesungguhnya yang demikian itu benar-benar terdapat tanda-tanda bagi kaum yang mendengarkan” (Ar Ruum – 30/22)
Seperti yang kita lihat bahwa setiap diri manusia (pasti) berbeda. Perbedaan itu sebenarnya bukan masalah karena sudah menjadi kehendak Allah. Masalahnya sekarang adalah bagaimana seorang Muslim menghadapi dan mengatasi perbedaan pendapat dengan tetap menjaga hubungan baik, besar hati dan tanpa perasaan saling bermusuhan . Allah ta’ala memerintahkan kepada kita untuk menyeru dan saling memberikan nasihat umat manusia ke jalan Dienul Islam. Namun pada kenyataannya, meskipun seruan ini telah dianjurkan dalam Al Qur’an sebagian Muslim banyak yang tidak melakukannya. Dalam ayat-ayat serupa Allah telah mengajarkan kita bagaimana untuk menyeru dan saling menasihati manusia kejalan Allah. Perhatikan ayat berikut : “Serulah (manusia) ke jalan Tuhanmu dengan bijaksana (hikmah), dengan nasihat yang baik, dan berhujahlah (bantahlah)kepada mereka dengan cara yang baik (landasan yang lebih mendalam) sesungguhnya Tuhanmu Dialah yang lebih Mengetahui tentang siapa yang tersesat dari jalan-Nya dan Dialah yang lebih mengetahui orang-orang yang mendapat petunjuk.” (An-Nahl 16/ 125) Pada ayat tersebut sangat jelas terkandung tiga cara ketika kita berbeda pendapat atau ketika kita akan saling berwasiat dan saling memberikan nasehat satu sama lain, yaitu :
- dengan hikmah
- dengan memberikan pelajaran atau contoh.
- dengan berbantahan dengan cara yang baik.
BAGIAN I : APA YANG DIMAKSUD HIKMAH
?
Cucu Rasulullah SAW telah memberikan
contoh yang sangat indah mengenai saling menasehati dengan cara Hikmah. Ketika
Hasan dan Husen di usia yang masih muda melihat seseorang yang usianya jauh
lebih tua dari mereka melakukan wudhu dengan cara yang salah. Melihat demikian
mereka bersama-sama menyusun rencana bagaimana memberikan nasihat tanpa
sedikitpun ingin menyakiti dia artinya memberikan nasihat kepada orang tersebut
sesuai dengan tingkat usianya. Kemudian mereka mendatangi orang tua tersebut
dan berkata “Saya dan saudara saya ini sedang bingung, kami mempunyai perbedaan
dalam cara berwudhu satu sama lain. Apabila Bapak tidak keberatan, maukah Bapak
menjadi penengah sehingga dapat menunjukan kepada kami cara mana diantara kami
yang benar, wudhu saya atau wudhu saudaraku ini?” Orang tua tersebut
memperhatikan dengan seksama bagaimana kedua cucu Rasulullah SAW tersebut
melakukan wudhu. Setelah mereka menyempurnakan wudhu tersebut, (belum lagi
mereka bertanya), orang tua itu dengan penuh rasa penyesalan menyatakan
terimakasihnya seraya berkata “Demi Allah, sebelumnya saya sama sekali tidak
mengetahui bagaimana harus berwudhu. Kalian berdua, baru saja, telah memberikan
contoh bagaimana saya harus melakukan wudhu”.
Terdapat dua dimensi Hikmah. Yang pertama adalah Hikmah Ilmu --- Hikmah Ilmiyyah. Dan kedua Hikmah Tindakan / Perbuatan --- Hikmah Amaliyyah. Beberapa orang mungkin hanya memiliki Hikmah Ilmu saja atau Hikmah Perbutan saja. Ini akan kita terlihat pada saat orang tersebut mencoba menasehati atau berwasiat pada orang lain. Akibatnya orang akan menolak Hikmah Ilmu karena tidak disertai Hikmah Tindakan atau sebaliknya.
Sebagai ilustrasi Hikmah Ilmu tanpa
Hikmah Tindakan dapat digambarkan dengan contoh berikut; suatu ketika seseorang
telah menyelesaikan shalatnya di dalam suatu masjid. Kemudian ia mengulurkan
tangannya kepada orang disebelah kiri dan kanannya untuk bersalaman. Dengan
kasarnya orang di sebelah kanannya menampik uluran tangan tersebut seraya
berteriak “ … bid’ah, itu bukan bagian dari sunnah!” Orang tersebut kemudian
malah menjawab dengan bijak dan benar, “.. kalau begitu, apakah tidak mempunyai
rasa hormat dan menyakiti orang lain juga adalah bagian dari Sunnah ?”
Untuk memperoleh Hikmah ketika kita
berbeda dengan orang lain diperlukan hal-hal berikut :
Tulus / Ikhlas
Pertama : Apabila kita berbeda
pendapat, perbedaan itu harus ditujukan pada harapan yang ikhlas untuk mencapai
suatu kebenaran. Pengharapan kita kita harus ditujukan pada ridho Allah SWT.
Ketika kita berbeda pendapat, jangan kita menggunakannya untuk menumpahkan rasa
kebencian atau iri hati kita. Kita harus berbeda bukan karena kita ingin
membalas untuk mempermalukan orang lain seperti apa yang pernah orang lain
lakukan terhadap kita. Dalam hadits, Rasulullah SAW bersabda, "Janganlah
kalian menuntut ilmu untuk membanggakannya terhadap para ulama dan untuk
diperdebatkan di kalangan orang-orang bodoh dan buruk perangainya. Jangan pula
menuntut ilmu untuk penampilan dalam majelis (pertemuan atau rapat) dan untuk
menarik perhatian orang-orang kepadamu. Barangsiapa seperti itu maka baginya
neraka...neraka" (H.R. Tirmidzi dan Ibnu Majah). Dan dalam hadits yang
lain Rasulullah SAW bersabda "Barangsiapa menuntut ilmu yang biasanya
ditujukan untuk mencari keridaan Allah, tiba-tiba ia tidak mempelajari nya,
kecuali hanya untuk mendapatkan harta benda keduniaan maka ia tidak akan
memperoleh bau harumnya surga pada hari kiamat" (H.R. Abu Dawud).
Niat Baik dan Lemah-lembut
Kedua : Agar mempunyai Hikmah ketika
kita berbeda, semata-mata kita harus berangkat dari suatu niat baik yang akan
kita lakukan dengan lemah-lembut. Seringkali apabila kita tidak dapat
mengendalikan diri, maka kita akan meninggikan suara kita atau membiarkan
amarah kita terlampiaskan ketika itu. Fir’aun adalah salah seorang manusia
paling jahat yang pernah hidup. Nabi Musa adalah manusia dengan akhlak yang
baik. Perhatikan bagaimana Allah berfirman kepda Nabi Musa untuk menasehati
Fir’aun. "Pergilah kalian berdua (Musa as dan Harun as)kepada Fir'aun,
sesungguhnya dia telah melampaui batas berkatalah kepadanya dengan lemah
lembut, mudah-mudahan dia ingat atau takut." (At-Thaha – 20/43-44) Suatu
ketika seorang khatib untuk kesekian kalinya mencaci maki kebijakan Khalifah
Al-Makmun pada masa pemerintahannya. Kepada khatib yang keras itu Al-Makmun
betanya,“Kira-kira, manakah yang lebih baik, Tuan atau Nabi Musa?” Tanpa
berpikir lagi, sang khatib yang galak itu menjawab, “Sudah tentu Nabi Musa
lebih baik daripada saya. Tuan pun tahu bukan?” “Ya,ya. Saya pikir begitu,”
sahut Al-Makmun. “lalu, siapakah menurut pendapat Tuan yang lebih jahat, saya
atau Firaun?” Disini sang khatib terperangah. Ia sudah bisa menduga kemana
tujuannya pertanyaan itu. Namun ia harus menjawab sejujurnya. Maka ia lantas
berkata, “Pada hemat saya, Firaun masih lebih jahat daripada Tuan.” Selanjutnya
Khalifah mengingatkan khatib akan ayat At-Thaha 43-44 diatas seraya berkata
”karena itu, pantas bukan kalau saya meminta Tuan untuk menegur saya dengan
bahasa yang lebih sopan dan sikap yang lebih bertata krama? Lantaran Tuan tidak
sebaik Nabi Musa dan saya tidak sejahat Firaun? Ataukah barangkali Tuan
mempunya Al Qur’an lain yang memuat ayat 44 surat Thaha itu?”
Luangkan Waktu dan Berikan Penjelasan
Ketiga : Untuk memperoleh Hikmah
ketika kita saling berwasiat adalah dengan cara sabar dan berusaha untuk
menjelaskan sebaik mungkin sebelum sampai pada suatu kesimpulan. “Dan tidaklah
diberikan sifat (kebijaksanaan) yang demikian itu kecuali kepada orang orang
yang sabar (tabah), dan tidaklah dapat melakukan kebijaksanaan yang demikian
itu, kecuali orang-orang yang mendapatkan kebahagian yang besar sekali”
(Fussilat 41/35) Imam Ahmad (dari Ibnu Abbas) menuturkan “Suatu ketika pada
masa perang seorang laki-laki dari Bani Salim melewati sekelompok sahabat
Rasulullah SAW. Orang tersebut kemudian memberikan salam “as salamu alaikum”
kepada mereka. Sahabat-sahabat menyimpulkan bahwa dia hanya berkata “as salamu
alaikum” kepada mereka sebagai muslihat untuk menyelamatkan diri dari tangkapan
mereka. Mereka mengepungnya dan kemudian Malham bin Juthaamah membunuhnya. Dari
kejadian tersebut Allah SWT menurunkan ayat berikut : “Hai orang-orang yang
beriman, apabila kamu pergi (berperang) di jalan Allah, maka telitilah dan
janganlah kamu mengatakan kepada orang yang memberikan ‘salam’ kepadamu, ‘Kamu
bukan seorang mu’min’ (lalu kamu membunuhnya), dengan maksud mencari harta
benda kehidupan di dunia, karena disisi Allah ada harta yang banyak. Begitu
juga keadaan kamu dahulu, lalu Allah menganugrahkan nim’mat-Nya atas kamu, maka
telitilah. Sesungguhnya Allah Maha Mengetahui apa yang kamu kerjakan” (An Nissa
4/ 94). Dari Tafsir Ibnu Kasir.
Berbicaralah dengan lembut dan sopan
Keempat : Jangan sekali-kali
bertukar pikiran dengan kata-kata yang kasar atau menyakitkan, khususnya ketika
kita berinteraksi dengan sesama Muslim. Allah berfirman : “Tidaklah sama
akibatnya cara-cara yang baik dengan cara-cara yang tidak baik. Maka tolaklah
(cara-cara yang tidak baik yang dilakukan musuh-musuhmu itu) dengan cara yang
lebih baik, sehingga orang yang menaruh permusuhan terhadap dirimu, seolah-olah
akan menjadi sahabat kental yang amat rapat” (Fussilat 41/ 34) Mus’ab bin Umair
adalah duta pertama Rasulullah SAW di Madinah. Sebelum Rasulullah SAW tiba di
Madinah, Mus’ab mengajar orang-orang Madinah tentang Islam dan beberapa orang
kemudian menjadi pengikutnya. Kegiatan ini membuat marah Sa’ad bin Ubaadah,
salah seorang kepala suku di Madinah. Ia menghunus pedangnya dan siap memenggal
kepala Mus’ab bin Umair. Ketika Mus’ab menjumpainya, ia meradang sambil
berteriak “Hentikan omong kosongmu atau kamu akan mati ditanganku” Mus’ab
menjawab dengan cara yang seharusnya menjadi contoh dan pelajaran bagi kita
semua. Sa’ad bin Ubaadah dikenal sebagai seorang yang berperangai kasar dan pemberani.
Sebelumnya tiada seorangpun yang berani menghadapinya selain Mus’ab bin Umair.
Mus’ab mengajak Sa’ad berunding:”Tiada maukah tuan duduk dan kita bicara untuk
barang sejenak? Jika tuan setuju dengan apa yang saya katakan kita lanjutkan ,
jika tidak, kita akan menghentikan pembicaraan ini” Sa’ad kemudian duduk
dihadapan Mus’ab bin Umair. Dengan berhati-hati kemudian Mus’ab berbicara
mengenai Allah dan utusanNya sehingga muka Sa’ad bin Ubadaah cerah dan semakin
cerah seperti bulan purnama dan kemudian Sa’ad bertanya “Orang semacam apa yang
suka mengikuti agama seperti ini?” Mus’ab berusaha menjelaskannya, kemudian ia
berkata “Ada seorang laki-laki, jika ia menerima agama ini, tidak akan ada
seorang pun yang tinggal di Medinah ini yang tidak akan menjadi Muslim. Orang
tersebut adalah Sa’ad bin Mu’aadah” Mendengar hal tersebut, Sa’ad bin Mu’aadah
sangat marah. Kemudian ia pergi mendatangi Mus’ab bin Umair dengan bersumpah
akan membunuhnya atas perbuatan yang telah dilakukannya. Kemudian dengan
kasarnya ia berteriak “Jika kau tidak menghentikan khotbah agamamu itu, akan
aku cincang engkau dengan pedangku !!!” Mus’ab menjawab : ”Sabarlah tuan,
tiadakah tuan mau duduk bersamaku dan kita bicara untuk barang sejenak? Jika
tuan setuju dengan apa yang saya katakan kita lanjutkan , jika tidak, kita akan
menghentikan pembicaraan ini” Sesaat Sa’ad mempertimbangkannya, kemudian ia
duduk berhadapan dengan Mus’ab bin Umair. Kemudian Mus’ab bercerita dengan
penuh kelembutan mengenai Allah dan UtusanNya sehingga muka Sa’ad bin Mu’aadah
semakin cerah dan semakin berseri seperti bulan purnama, sehingga kemudian ia
bertanya “Orang semacam apa yang suka mengikuti agama seperti ini?” Kita tidak
dapat membayangkan bagaimana seorang Mus’ab bin Umair bisa menundukan penduduk
Madinah untuk menerima Alah dan UtusanNya hanya dengan kata-kata. Sehingga pada
malam itupun Sa’ad bin Mu’aadh berkeliling seputar kota Madinah seraya
mengumumkan “Hai penduduk Madinah … semua apa yang engkau punyai adalah haram
bagiku sebelum engkau masuk Islam” Pada malam itu juga menggemalah dari seluruh
pelosok Madinah kalimah tauhid Laa ilaaha illa Allah ... hanya dikarenakan
kata-kata yang lembut, tulus dan penuh kesabaran dari seorang Mus’ab bin Umair.
BAGIAN II : SIAPA YANG MENANG ?
Muawiyah bin Al Hakam al-Salami
ketika itu baru saja tiba di Medinah dari perjalanannya. Saat itu, ia belum
mengetahui bahwa tidak boleh seseorang berbicara ketika sedang shalat. Ia
menjelaskan :”Ketika itu saya sedang shalat dibelakang Rasulullah SAW,
seseorang bersin, kemudian saya berkata “Yarhamuk Allaah” sesuai anjuran. Semua
orang memandang saya denga heran, saya berkata kepada mereka “ … ada apa dengan
kalian memandangku seperti itu?” Mereka mengacungkan telunjuknya pada mulut
mereka yang terkatup yang memberikan isyarat untuk tidak berbicara, saya diam
(… sebetulnya hampir saja saya menjawab isyarat mereka, tapi saya berusaha
mengendalikan saya untuk diam) Ketika Rasulullah SAW telah menyelesaikan
shalatnya, beliau menjelaskan “Shalat tidak mengandung kata-kata manusia, shalat
hanya terdiri dari tasbih dan takbir dan bacaan-bacaan yang diambil dari Al
Qur’an” (Hadits Muslim) --- sungguh saya belum pernah melihat seorang guru yang
lebih baik dari beliau sebelumnya ataupun sesudahnya --- beliau tidak menghina,
memukul bahkan tidak membuat aku malu” Islam memperlihatkan kepada kita
bagaimanapun kita berbeda satu dengan yang lain. Banyak orang berpendapat bahwa
kita tidak boleh berbeda satu dengan yang lain dan semua perbedaan harus
dihindari.
Sayangnya, asumsi demikian adalah tidak
benar, di dalam Al Qur’an dan Sunnah jelas ketika kita membuat kekeliruan atau
kesalahan, kekeliruan atau kesalahan demikian harus dikoreksi. Ketika
Rasulullah SAW memalingkan mukanya dari seorang buta, Allah SWT mengoreksi
beliau dalam Al Qur’an. “Dia (Nabi Muhammad SAW) bermuka masam dan berpaling,
karena telah datang seorang buta kepadanya. Tahukah kamu barangkali ia ingin
membersihkan dirinya (dari dosa). Atau dia (ingin) mendapatkan pengajaran, lalu
pengajaran itu memberikan manfaat kepadanya?” (Abassa 80 / 1-4) (Orang buta itu
bernama Abdullah bin Ummi Maktum. Dia datang kepada Rasulullah SAW meminta
ajaran-ajaran tentang Islam; lalu Rasulullah SAW bermuka masam dan berpaling
dari padanya, karena beliau sedang menghadapi pembesar Quraisy dengan pengharapan
agar pembesar-pembesar tersebut mau masuk Islam. Maka turunlah surat ini
sebagai teguran kepada Rasulullah SAW) Ketika Hatib bin Abi Balta’ah ra
melakukan kesalahan yaitu mengirimkan sebuah surat kepada kaum kafir Qurais
yang memberitahu mereka mengenai strategi penyerangan Rasulullah SAW untuk
memerangi mereka. Allah mewahyukan ayat berikut : “Hai orang-orang yang
beriman, janganlah kamu mengambil musuh-Ku dan musuhmu menjadi teman-teman
setia … “ (Al Mumtahanah 60 / 1) Dari cerita diats, kita belajar bagaimana
ketika kita melakukan kesalahan, kesalahan itu harus dikoreksi. Sesungguhnya,
saling memperbaiki dari kekeliruan atau kesalahan untuk melakukan yang
seharusnya sesuai dengan Dienul Islam (yang bersumber pada Al Quran dan Hadits)
adalah merupakan suatu kewajiban agama. Tentu saja asalkan kita memiliki
perhatian mengenai bagaimana cara menyampaikannya sehingga tidak mengakibatkan
hal-hal yang lebih buruk.
Aku Kalah Engkau Menang
Seorang Badui datang pada Rasulullah
SAW dan berkata “Berikan kepadaku apa yang Allah telah berikan kepadamu, tapi
bukan apa yang engkau dapatkan dari ibu atau bapamu”. Melihat cara Badui
tersebut memperlakukan Rasulullah SAW sedemikian kasarnya para sahabat sangat
geram dan marah. Shabaah, salah seorang sahabat mulai mendekat Badui tersebut
untuk sedikit memberikan pelajaran bagaimana seharusnya berhadapan dengan
Rasulullah SAW. Namun ketika itulah Rasulullah SAW melarangnya seraya menyuruh
para sahabat termasuk Shabaah untuk meninggalkan beliau berdua dengan Badui tersebut.
Dengan ramah Rasulullah SAW menggapit tangan Badui tersebut dan mengajak menuju
tempat tinggal beliau. Segera setelah pintu terbuka Rasulullah SAW berkata
:”Silahkan ambil apa saja yang tuan suka dan tinggalkan apa yang tuan suka”.
Badui tersebut segera melakukan apa yang diperintah Rasulullah SAW. Setelah
Badui tersebut selesai melakukan semuanya, Rasulullah bertanya :”Sudahkah
cukupkah aku menghormatimu?” “Ya, demi Allah Engkau telah melakukan semuanya
untukku.” Sahutnya dengan penuh rasa hormat. Kemudian ia melafadzkan “Ashhadu
an laa ilaaha illa Allah, wa ashhadu anna Muhammadar Rasul Allah” Ketika
Shabaah mendengar bagaimana Badui itu telah berubah, Rasulullah SAW berkata
:”Bahwa contoh yang telah aku lakukan, kalian dan Badui ini seperti orang-orang
yang sedang mengejar unta. Seluruh penduduk kota ini berusaha untuk menangkap
unta dengan mengejar-ngejar dan meneriakinya dibelakangnya, sehingga unta itu
karena takut akan lebih kencang berlari menghindari kalian. Seseorang berkata,
“biarkanlah unta itu karena saya mengenali betul unta tersebut”. Kemudian ia
menjumput segenggam rumput, diberikannya didepan unta tersebut, sampai unta
tersebut datang dengan sendirinya.” Rasulullah melanjutkan “Demi Allah, jika
saja aku meninggalkan Badui ini bersama kalian, pasti kalian akan memukulnya,
menyakitinya dan kemungkinan besar ia akan pergi tanpa berislam sehingga ia
akan menjadi santapan api neraka”
Aku Menang Engkau Kalah
Seringkali ketika berbeda pendapat
kita menghadapi suatu masalah yang sudah jelas hukumnya (berdasarkan Al Qur’an
dan Hadits). Dalam hal demikian seharusnya seorang Muslim dapat berpendirian
secara konsisten dan tegas. Tidak terjadi lagi tawar-menawar atau toleransi
atas dasar pertimbangan apapun, kebenaran harus ditegakkan. Suatu hari, seorang
wanita Bani Al Makzumiyah (keluarga yang sangat kaya dan terhormat) mencuri,
sebagian orang meminta kepada Rasulullah SAW melalui Usamah bin Zaid bin
Haritsah kekasih RasulullahSAW untuk membatalkan hukumannya. Seraya berdiri
diatas mimbar Rasulullah SAW bersabda: "Sesungguhnya hancurlah orang-orang
sebelum kamu. Sebab, jika ada orang-orang besar mencuri, maka mereka dibiarkan
saja. Tetapi jika yang mencuri adalah kaum yang lemah (rakyat jelata), maka
dijatuhi hukuman potong tangan. Demi Allah, yang jiwaku berada di tangan-Nya,
andaikan Fatimah binti Muhammad mencuri, maka pasti akan aku potong
tangannya." (HR Ahmad, Muslim, dan Nasai). Akan tetapi, cara-cara yang
mengandung hikmah yang telah kita bicarakan terdahulu harus menjadi
pertimbangan dalam menyelesaikannya.
Aku Menang Engkau Menang
Tidak selalu harus ada yang kalah.
Dalam beberapa kejadian kita dapat mengambil suatu hikmah bahwa Rasulullah SAW
telah memberikan jalan keluar ketika beliau berbeda. Ketika Rasulullah SAW
mengirim surat kepada Kaisar (Caesar). Di dalam surat tersebut ia menuliskan
demikian “Aku mengajak Tuan menjadi Muslim maka Tuan akan aman dan Allah akan
melipatgandakan pahala Tuan” Rasulullah SAW tidak mengatakan menyerah atau mati
! Tidak ada kata-kata demikian atau mengatakan kejayaanmu akan berlipat ganda,
cukup dikatakan Tuan akan mendapat kemenangan. Suatu ketika Abu Bakar ra
terlibat perselisihan dengan seorang sahabat. Selama perselisihan tersebut
secara tidak sengaja dan memang beliau tidak ingin kata-kata itu meluncur dari mulutnya
Abu Bakar mengatakan sesuatu yang tidak ia kehendaki dikatakannya. Abu Bakar
tidak menghinanya atau menyerang seseorang dengan kata-katanya, juga tidak
menyudutkan seseorang, yang ia katakan hanyalah kata-kata yang boleh jadi akan
menyakiti perasaan sahabatnya tersebut. Menyadari kekeliruannya, Abu Bakar
meminta sahabat tersebut untuk membalasnya “Balaslah, katakan lagi itu padaku
!” setengah menghiba. Sahabat tersebut berkata “Saya tidak akan membalasnya”.
“Balaslah, katakan lagi itu padaku !” kata Abu Bakar dengan penuh penyesalan
“atau aku akan mengadu pada Rasulullah SAW”. Sahabat tersebut tidak mau
membalas perkataan Abu Bakar ini dengan meninggalkan Abu Bakar sendirian.
Dengan perasaan gundah, Abu Bakar pergi mengadu kepada Rasulullah SAW mengenai
apa yang sudah terjadi dan apa yang sudah ia katakan pada sahabatnya.
Rasulullah SAW memanggil sahabat tersebut dan bertanya “Apakah betul Abu Bakar
berbuat demikian dan demikian?” Sahabat itu menjawab “Betul ya Rasulullah”
“Apakah kamu membalas menjawab” Rasullullah bertanya kembali “Saya tidak
menjawab apapun untuk membalasnya” jawab sahabat. Rasulullah SAW berkata “
Baik, jangan balas perkataannya, tapi lebih baik katakanlah kepadanya “Semoga
Allah mengampunimu Abu Bakar” Sahabat tersebut berbalik pada Abu Bakar dan
berkata “Semoga Allah mengampuni … wahai Abu Bakar, semoga Allah mengampuni …
wahai Abu Bakar ” Abu Bakar memeluk sahabat tersebut seraya berlinang airmata
penuh penyesalan.
Wallahua'lam bi's-sawab.
Semoga bermanfaat.
Semoga bermanfaat.
(diterjemahkan oleh M.I. Hidayat dari Materi pokok Muhammad Alshareef, When Friends Hurt each Others, “Waste no time debating what a good Muslim should be. Be one” http://www.jamiat.org.za/isinfo/friendshurt.html dan sumber lainnya.)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar