Adalah sangat membesarkan hati bila kita menatap sejarah proses belajar, dan melihat betapa seringnya pemikiran-pemikiran agung bermunculan di daerah-daerah sepi, ditengah-tengah suku biadab dan kurun yang penuh berbagai tindasan dan kekerasan. Alangkah indahnya, dari zaman penuh pertumpahan darah yang menggemakan rintih dan lagu duka yang sedih, muncul pemikiran yang tenang dan agung, mempelajari alam dan menulis puisi : atau kita temukan, diantara kaum borjuis yang malas atau petani yang penuh daki tanah yang muram, suatu kecerdasan yang tinggi dalam abstraksi bilangan, penemuan-penemuan baru yang unik, atau suatu penafsiran yang sistematis tentang alam.
Contohnya Buddha. Demikian juga Sequoyah seorang Indian Cherokee, seorang diri dia menciptakan bahasa tulisan untuk rakyatnya. Demikian juga Gregor Mendel, seorang rahib yang berpikir dengan sabar di kebunnya, sampai ia menemukan beberapa hukum dasar keturunan.
Terpisah dari jenius-jenius yang menyendiri itu terdapat pula keanehan lainnya dalam sejarah pemikiran yang merupakan suatu gejala yang hampir-hampir tidak dapat dijelaskan. Dalam hal ini kita dihadapkan dengan mereka yang merupakan gambaran dari waktu dan lingkungan di mana mereka dididik, namun dengan imajinasi mereka yang tinggi, jangkauan pengetahuan yang luas dan serba bisa, mereka menonjol di atas jaman dan rekan-rekannya, yang menjadikan mereka tokoh zamannya dan abadi sesudah itu. Perbedaan kualitas seperti ini terjadi berulang kali dalam dunia intelektual. Beberapa kritikus mengemukakan bahwa Shakespeare tak mungkin mampu menulis drama-dramanya, karena ia hanyalah seorang pemuda golongan menengah yang berasal dari desa, yang setelah tamat dari suatu sekolah di kota kecil terjun menjadi aktor. Pendapat mereka adalah salah. Mereka keliru bila mempercayai, bahwa dalam dunia pemikiran, dua tambah dua adalah empat.
Pemikiran-pemikiran seperti itu, seharusnya tidak pernah diajarkan di sekolah. Salah satu kenikmatan terbesar dari mengajar adalah melihat, bukan hanya sekali tapi berulang-ulang, bagaimana seorang anak biasa, karena terangsang oleh suatu pujian dari gurunya, atau karena kegembiraannya yang meluap-luap dalam menjelajahi suatu pokok permasalah baru, tiba-tiba mulai berubah. Ia mulai melemparkan gagasannya sendiri yang asli; ia berubah sedemikian cepatnya sehingga jauh meninggalkan teman-temannya. Disebabkan oleh faktor kebetulan yang membahagiakan , atau usaha yang mujur, dia mampu menggabungkan tenaga-tenaga pemikirannya menjadi sesuatu yang baru, suatu sintesa kreatif.
Suatu hal yang pasti mengenai karya besar pemikiran adalah, bahwa banyak diantara karya-karya besar tersebut, diciptakan oleh orang-orang yang memulai kehidupannya sebagai orang biasa, bahkan dalam keadaan yang tidak menyenangkan, namun kemudian mereka berkembang sedemikian jauh sehingga melampaui asal usulnya.
Isaac Newton adalah putera seorang petani Lincolnshire. Tidak seperti beberapa ahli matematika lainnya, bahkan ia tidak cemerlang masa kecilnya. Baru setelah beberapa tahun ia belajar di Cambridge, mulailah kejeniusannya memercik. Seorang anak lelelaki biasa, yang dilahirkan dari perkawinan seorang lelaki Italia dengan seorang gadis dusun, mengikuti proses magang dalam seni lukis seperti halnya ribuan orang sebelum dan sesudahnya, tetapi yang seorang ini tak lain dari Leonardo da Vinci Loyola, pendiri kaum Yesuit, adalh seorang prajurit yang berani namun tidak tahu apa-apa, di tengah zaman yang penuh dengan orang-orang bodoh yang bersenjata. Luther dan Rabelais adalah rahib yang sukar dibedakan dari sekian banyak rahib-rahib lainnya di berbagai tempat dan kurun waktu. Socrates adalah seorang tukang batu di sebuah kota yang penuh dengan pemborong.
Bagaimana pemikir-pemikir besar itu muncul? Mereka tidak tumbuh seperti pepohonan. Mereka tidak daspat dimuliakan seperti hewan-hewan pilihan. Namun kita mengenal dua cara untuk memupuk mereka selagi bertumbuh.
Yang pertama adalah memberi mereka tantangan dan rangsangan. Letakkan masalah-masalah di hadapan mereka. Hasilkan sesuatu untuk dipikirkan mereka. Diskusikan tiap tahap pemikiran mereka. Usulkan kepada mereka agar melakukan berbagai percobaan. Minta mereka untuk mengungkapkan apa-apa yang tersembunyi.
Cara kedua adalah membawa mereka agar mengenal pemikiran-pemikiran yang menonjol. Adalah tidak cukup bagi seorang anak pandai hanya mengenal teman-teman, guru-gur dan orang tuanya. Ia harus mengenal mereka yang benar-benar menonjol, orang-orang besar yang abadi.
Plato, seorang perisau yang cemerlang dan murung, meninggal lebih dari 2300 tahun yang lalu, tapi melalui buku-bukunya ia masih terus berbicara. Tak ada yang lebih baik, tak satu juapun, bagi seorang anak muda yang mulai berpikir tentang masalah-masalah kefalsafahan, - tentang tingkah laku, kegiatan politik, atau analisis logis - selain membaca Plato mencoba untuk menjawab argumen-argumennya, menentang jalan pikirannnya yang meyakinkan dan sekaligus menjadi murid dan pengkritiknya. Cara terbaik menuju keagungan adalah bergaul dengan orang-orang besar ... tak ada Jalan Lain.
(dari Gilbet Highet - Pikiran Manusia yang Tak Tertundukan)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar